Kabar Baru| 16 November 2020
Tantangan Berat Menurunkan Emisi
KETIKA negara-negara tujuan ekspor batu bara Indonesia mulai sadar bahaya bahan bakar fosil terhadap lingkungan, pemerintah Indonesia hendak menggenjot produksinya. Tahun ini target produksi pengerukan batu bara sebanyak 550 juta ton, naik 73% dibanding tahun lalu, dan menjadi target tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Produksi aktual batu bara Indonesia selalu lebih tinggi dari targetnya. Dari target 400 juta ton produksi tahun lalu, realisasi pengerukan batu bara mencapai 610 juta ton. Dalam lima tahun terakhir, menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2019, realisasi produksi batu bara 8-52% lebih tinggi dari targetnya. Sebanyak 70-80% diekspor ke luar negeri.
Lonjakan produksi itu membuat pemerintah Indonesia hendak mengolahnya sebelum diekspor. Sebab, negara-negara penerima kini sudah mengganti mesin-mesin pembakaran dengan pengolah yang ramah lingkungan. Tuntutan dan krisis iklim membuat dunia internasional makin ketat dalam mitigasi pemanasan global.
Emisi yang dilepas dalam pembakaran batu bara menjadi polutan terkuat dalam mengotori atmosfer. Pemerintah Kota Beijing telah mengganti pabrik-pabrik pemakaian batu bara dengan gas untuk menurunkan emisi 35% sejak 1998. Hasilnya gas-gas rumah kaca di Beijing turun drastis seperti dilaporkan PBB tahun lalu.
Cara pemerintah Indonesia atas tuntutan itu adalah mengolah batu bara menjadi dymethil ether melalui gasifikasi batu bara sebagai bahan bakar substitusi gas likuid (LPG). Proyek yang dipimpin konsorsium PT Bukit Asam ini menelan biaya US$ 2,4 miliar dan mulai beroperasi 2024 dengan kapasitas 1,4 juta ton DME per tahun dari pengolahan 6 juta ton batu bara.
Pemerintah Indonesia mengklaim proyek ini akan menghemat pengeluaran negara Rp 8,7 triliun per tahun. Tapi, menurut perhitungan Institute for Energy Economics and Financial Analysis, proyek ini justru bakal rugi Rp 5,3 triliun per tahun. Tak hanya rugi secara finansial, menurut kajian Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat dalam rilis 15 November 2020, proyek ini juga bakal melepas emisi 4,26 juta ton setara CO2.
Jumlah emisi sebesar itu hampir sama dengan polusi yang dilepas 2 juta knalpot mobil atau membutuhkan penyerapan oleh hamparan gambut seluas 150.000 hektare. Di tengah upaya menurunkan emisi hingga 27,3% pada 2024, proyek ini menjadi tantangan berat pemerintah mencapai pembangunan rendah karbon.
Selain target 2024, pada 2030 Indonesia berjanji kepada PBB menurunkan emisi 41% atau 1,08 Giga ton setara CO2. Target yang berat mengingat kenaikan jumlah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang mencapai 420 ppm yang membuat tahun 2020 sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah.
Dalam perhitungan AEER, jumlah emisi gas rumah kaca proyek DME tersebut berasal dari total jumlah energi yang digunakan untuk menghasilkan DME, seperti uap panas, heat, dan listrik serta emisi gas rumah kaca yang dihasilkan langsung oleh proses produksi seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), sulfur heksafluorida (SF6), hidro fluorokarbon (HFCs) dan nitrat oksida (N2O) .
Emisi tersebut terlepas pada tahap eksplorasi dan ekstraksi batu bara, proses pembuatan DME, penggunaan produk, dan limbahnya. Emisi hanya dihitung pada ekstraksi batu bara, dan proses pembuatan, serta perhitungan gas emisi setara CO2.
Menurut rilis AEER, faktor emisi juga sudah mempertimbangkan lokasi pabrik di samping kajian literatur. Misalnya, faktor emisi pada listrik yang dipakai untuk menghitung total emisi pada produksi DME sebanyak 0,877 ton setara CO2per megawatt jam.
Jumlah emisi bakal lebih meningkat jika proses yang dipilih adalah dehidrasi metanol sebelum diubah menjadi DME. Dehidrasi metanol dari gasifikasi batu bara lebih besar dibanding LPG. Dehidrasi metanol sebesar 2,965 kilogram setara CO2 per kilogram menghasilkan emisi 3 juta ton setara CO2. Sementara emisi menghasilkan LPG dengan kapasitas yang sama sebanyak 1,4 juta ton hanya sebesar 824.000 ton setara CO2 per tahun.
Artinya, dengan jumlah yang sama, memproduksi LPG menghasilkan 1/5 emisi produksi DME. Menurut AEER, energi LPG 1,4 kali lebih tinggi dibanding DME10.
AEER memprediksi substitusi DME sebagai bahan bakar akan naik karena pada 2050 permintaan energi di sektor komersial akan naik. Menurut Dewan Energi Nasional dalam Outlook Energi Indonesia 2019, kebutuhan komersial energi tanpa intervensi mencapai 47,7 juta ton setara minyak. Akibatnya, emisi menuju tahun tersebut akan meningkat.
Dengan menengok data izin usaha pertambangan, AEER menduga proyek ini akan mengeruk batu bara di Kabupaten Muara Enim, lokasi konsesi PT Bukit Asam seluas 30.000 hektare di Sumatera Selatan, karena lokasinya berdekatan.
Koordinator Perkumpulan AEER Pius Ginting mengutip data Badan Geologi Kementerian Energi yang menyebut cadangan batu bara di Muara Enim sebanyak 5,39 miliar ton cadangan terkira dan 4,39 miliar ton cadangan terukur.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :