Kabar Baru| 18 November 2020
Hutan Lindung Bisa Diubah Jadi Food Estate
MENTERI Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate pada 2 November 2020. Pasal 19 peraturan ini menyebutkan bahwa penyediaan kawasan hutan untuk food estate atau lumbung pangan berasal dari hutan lindung dan hutan produksi.
Ayat 2 pasal itu menjelaskan lebih detail pengertian kawasan hutan lindung untuk lumbung pangan yang “sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Untuk memahami pengertian hutan lindung, ada definisi di pasal 1 nomor 4 bagian ketentuan umum:
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Juga pengertian food estate di nomor 10:
Food Estate adalah usaha pangan skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu Kawasan Hutan.
Artinya, kawasan hutan lindung sebenarnya tak diperuntukkan bagi penyediaan pangan karena fungsinya untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Pasal 19 P24/2020 coba menghindar dari pengertian ini dengan mencantumkan ayat 2, yakni hutan lindung yang tak lagi memiliki fungsi lindung.
Maka untuk kawasan hutan lindung yang tak memiliki fungsi lindung pemerintah membuka peluang mengubahnya menjadi lumbung pangan, yakni usaha pangan skala luas yang memakai teknologi dan modal besar, prioritasnya adalah hutan lindung yang sudah rusak. Tujuannya untuk ketahanan pangan nasional. Masalahnya, meski rusak, pengertian atas kawasan tersebut tetap saja “hutan lindung”.
Apakah hutan lindung bisa diubah menjadi fungsi lain? Bisa dengan mengecek pasal 26 Undang-Undang Kehutanan yang diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11/2020.
Perubahan pasal 26 itu menjadi:
1) Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
2) Pemanfaatan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Penjelasan pasal 26 ayat 1 di Undang-Undang Cipta Kerja berbunyi sebagai berikut:
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
- budi daya jamur;
- penangkaran satwa; dan
- budi daya tanaman obat dan tanaman hias.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
- pemanfaatan untuk wisata alam;
- pemanfaatan air; dan
- pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
- mengambil rotan;
- mengambil madu; dan
- mengambil buah.
Usaha pemanfaatan dan pemungutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Tak ada satu ketentuan pun yang menyatakan bahwa hutan lindung bisa diubah menjadi lumbung pangan dengan menanam tanaman pangan untuk menghasilkan produk pangan seperti pengertian “food estate” di pasal 1 nomor 10 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 24/2020. Pemanfaatan hutan lindung terbatas pada budi daya jamur, penangkaran satwa, dan budi daya tanaman obat serta tanaman hias
Pasal 27 UU Kehutanan di UU Cipta Kerja mengatur bahwa pemanfaatan hutan lindung itu untuk perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, daerah, dan badan usaha milik swasta—dalam atau luar negeri. Namun dalam pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup P.24/2020, pemohon perubahan kawasan hutan untuk ketahanan pangan terbatas pada: menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan kepala badan otorita.
Mereka bisa mengajukan pembukaan kawasan hutan untuk lumbung pangan kepada Menteri Lingkungan. Untuk hutan lindung, perubahannya tak mengatur pengajuan oleh korporasi, meski peluangnya dibuka UU Cipta Kerja.
Hutan lindung atau hutan produksi, perubahan kawasan hutan ini tetap saja mengubah fungsi hutan. Sebab, hutan produksi sekali pun pengertiannya adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sementara pengertian perubahan kawasan hutan adalah "perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan".
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :