Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 November 2020

Mengapa Hutan Lindung untuk Food Estate?

Selain luasnya kecil, hutan lindung tak sebaiknya dikonversi menjadi jenis lain. Mengapa sasaran Peraturan Menteri LHK soal food estate bukan hutan produksi?

Kawasan hutan lindung Bujang Raba di Jambi. (Foto: Dok. Warsi)

BERITA pemerintah mengizinkan hutan lindung untuk food estate atau lumbung pangan membuat galau para rimbawan. Tidak ada lagikah kawasan hutan produksi yang layak untuk lumbung pangan sehingga akan memakai kawasan hutan lindung?

Jika menilik luas kawasan hutan Indonesia 125,2 juta hektare, luas kawasan hutan produksi bisa dibilang lebih dari cukup. Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79%. Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas ,dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Sementara luas hutan lindung yang hanya 29,5 juta hektare atau 23,56% saja. 

Konstruksi Kayu

Wilayah Abu-Abu. Dari kelahiran regulasi kehutanan, dari tiga jenis fungsi hutan yakni hutan konservasi, lindung, dan produksi, posisi hutan lindung sudah abu-abu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok-pokok kehutanan, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, hanya hutan lindung yang tidak mempunyai turunannya (derivative) sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi.

Dalam UU Kehutanan tak ditemukan arti dan penjelasannya. Juga tak ada di PP 44/2004, selain hanya arti dan pengertiannya, serta kriteria penetapannya.

UU Kehutanan menjelaskan turunan hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam ,dan taman buru. Sementara UU Nomor 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya ada penjelasan turunan kawasan hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Turunan kawasan hutan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata. PP 44/2004 menjelaskan turunan hutan produksi terdiri dari hutan produksi biasa, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Penetapan hutan lindung berdasarkan kriteria kemiringan lereng paling sedikit 40% atau ketinggian paling sedikit 2.000 meter dari permukaan laut atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 atau lebih.

Sementara itu, hutan produksi, dengan faktor yang sama, jumlah hasil perkalian bobotnya kurang dari 174. Rinciannya 125-174 untuk hutan produksi terbatas, kurang dari 125 untuk hutan produksi tetap, dan di bawah 124 adalah hutan produksi yang bisa dikonversi.

Hutan lindung tampaknya kurang menarik dan seksi karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekologisnya. Oleh karena itu, di banyak daerah kawasan hutan lindung kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah, apalagi pemerintah pusat. Ini kenapa hutan lindung disebut berada di wilayah abu-abu.

Apalagi pasal 19 Peraturan Menteri LHK Nomor 24/2020 itu mengandung pengertian yang tak jelas. Misalnya soal batasan hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apakah hutan lindung yang telah mengalami deforestasi dan degradasi?

Secara teori, keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis, khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di Pulau Jawa dan Sumatera. Maka daerah tangkapan air sangat penting dalam areal daerah aliran sungai. Sementara DAS tidak mengenal batas wilayah administratif pemerintahan. Maka jika terjadi banjir, urusannya tak hanya pemerintah di hilir, juga di hulu. 

Mengapa pemerintah tak memakai mekanisme PP 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan? Di sana sudah disebutkan bahwa perubahan antar fungsi kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi lebih masuk akal untuk kegiatan lumbung pangan yang butuh lahan luas.

Apalagi ketersediaan data luas kawasan hutan lindung juga belum jelas. Data pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk kegiatan masih simpang-siur. Untuk izin pinjam pakai kawasan hutan sejak 1979-2018 seluas 563.463 hektare, hutan desa 1.551.601 hektare, hutan kemasyarakatan 743.406,82 hektare, dan kemitraan kehutanan seluas 424.940 hektare.

Artinya, luas hutan lindung yang dimanfaatkan masih bercampur dengan hutan produksi. Simpang-siur data ini akan menyulitkan eksekusi dan niat pemerintah sendiri dalam mengubah fungsi hutan ini menjadi lumbung pangan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain