Kabar Baru| 19 November 2020
Jangan Anggap Sepele: Mengirim Email Memicu Pemanasan Global
MESKI pandemi virus corona covid-19 menurunkan aktivitas ekonomi dan manusia, tak menyurutkan kenaikan emisi gas rumah kaca di atmosfer. September lalu konsentrasi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global mencapai rekor baru dalam 3 juta tahun terakhir, menurut laporan PBB.
Konsentrasi enam gas rumah kaca di atmosfer mencapai 414,38 part per million—naik dibanding awal tahun ini yang hanya 411,74 ppm. Akibatnya suhu bumi naik 1,10 Celsius dibanding suhu sebelum 1750—tahun praindustri yang menjadi patokan menghitung suhu bumi.
Kenaikan jumlah gas rumah kaca di atmosfer itu melonjak bahkan dibanding tahun 1988 yang hanya 350 ppm. Para ahli perubahan iklim memperkirakan, penghuni bumi tak akan sanggup menanggungkan kenaikan suhu di atas 20 Celsius, karena suhu setinggi itu memicu pelbagai bencana.
Gas rumah kaca berasal dari pembakaran dan aktivitas di bumi berupa emisi. Karena itu negara-negara anggota PBB berjanji menekan jumlah emisi dengan beralih ke teknologi ramah lingkungan atau makin banyak menanam pohon sebagai penyerapnya.
Maka, dalam mitigasi perubahan iklim ada skema perdagangan karbon, mekanisme pembelian usaha menyerap emisi oleh para produsen emisi. Namun, alih-alih berkurang, jumlah emisi terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2018 jumlahnya mencapai 55,8 Giga ton. Padahal, agar bisa menahan kenaikan suhu di atas 20 Celsius, jumlah emisi global maksimal 25 Giga ton.
Indonesia turut dalam Perjanjian Paris itu dengan target menurunkan emisi sebanyak 41% atau 1,1 Giga ton pada 2030. Masalahnya, kebijakan pemerintah dalam banyak hal bertentangan dengan tujuan itu.
Omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja makin melonggarkan pembukaan lahan untuk memberi kesempatan kepada industri ekstraktif yang membutuhkan lahan yang luas. Taman Nasional Komodo akan diubah jadi resor, produksi batu bara akan digenjot untuk memenuhi kebutuhan penjualan energi agar mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugardiman, selain mitigasi, Indonesia juga menyediakan jalan adaptasi perubahan iklim. Tak hanya menghindari kenaikan emisi, Indonesia hendak coba beradaptasi dengan kenaikan suhu bumi.
Di negara-negara maju, pemerintahnya memulai kebijakan mitigasi dengan hal-hal kecil. Pemerintah Inggris, misalnya, menyerukan agar penduduknya mengurangi pengiriman email atau surat elektronik untuk menghemat energi listrik.
Surat-menyurat secara elektronik membutuhkan energi untuk pengiriman data dan energi untuk penyimpanannya di dunia maya. Pemerintah Inggris mengimbau agar masyarakat tak lagi mengirim email pendek semacam “terima kasih”, “tepuk tangan”, “LOL” atau sekadar basa-basi “apresiasi”.
Para ahli berhitung pengiriman email secara global memakan 0,1% karbon. Jauh lebih kecil dibanding emisi pembakaran energi mobil yang mencapai 20%. Namun, mereka beralasan, jika masyarakat mengurangi pengiriman email per hari jumlahnya akan signifikan dalam mengurangi emisi.
Menurut OVO Energy, lembaga penyediaan energi terbarukan di London, setiap hari orang Inggris mengirim 64 juta email tak penting dengan produksi karbon dioksida sebanyak 61.433 ton per tahun. Produksi emisi itu setara 81.152 penerbangan pesawat London-Madrid atau 3.334 knalpot mobil.
OVO menghitung tiap pengiriman satu email memerlukan energi 0,000001 ton setara CO2. Jumlah sangat kecil, apalagi email kini tak terlalu populer dibanding mengirim pesan melalui aplikasi percakapan seperti WhatsApp atau melalui platform media sosial lain.
Menjawab pertanyaan itu, kepada The Guardian, Mike Berners-Lee, a professor di Environment Centre in Lancaster University, menjelaskan:
“Ketika Anda mengetik pesan, komputer memakai energi listrik, ketika Anda menekan tombol “Kirim”, pesan itu akan masuk ke jaringan dan mengambil energi listrik kembali. Jumlah energi makin banyak ketika pesan itu masuk ke dalam jaringan. Di dalam penyimpanan maya, pusat data memakai energi listrik yang banyak untuk menyusunnya.”
Kita tak menyadari itu, kata Lee, “Karena komputer atau gawai kita tak mengepulkan asap, padahal jejak karbon dalam teknologi komunikasi sangat besar dan meningkat.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :