Kabar Baru| 23 November 2020
Puncak Pemanasan Global 40 Tahun Lagi
PARA ahli memprediksi bumi dan manusia tak akan bisa menanggungkan akibat pemanasan global jika suhu bumi naik 20 Celsius dibanding tahun 1800—setengah milenium setelah Revolusi Industri dimulai. Suhu setinggi ini dipicu oleh naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang diukur setara dengan jumlah karbon dioksida (CO2).
Selama 10.000 tahun dan stabil selama 3 juta tahun sebelumnya, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer berkisar 280 part per million. Artinya, jika kita mengerat 1 juta molekul, kita akan mendapatkan 280 CO2 di dalamnya. Sisa yang lain adalah gas-gas rumah kaca, seperti nitrat oksida hasil pembakaran energi mobil dan truk, belerang heksafluorida residu produksi di pabrik semen.
Menurut Carbon Brief, yang mengambil data dari enam stasiun pemantauan iklim, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer pada September 2020 sebanyak 420 ppm atau tertinggi dalam sejarah. Akibatnya, tahun ini menjadi tahun terpanas bumi dalam 3 juta tahun terakhir dengan kenaikan 0,90 Celsius dibandingkan tahun 1800. Kajian lain menyebut kenaikan suhu mencapai 1,10 Celsius.
Negara-negara anggota PBB telah bersepakat mencegah laju suhu bumi dengan menetapkan batas toleransi kenaikan suhu 20 Celsius pada 2100 melalui kebijakan mengurangi emisi yang mulai dihitung tahun ini. Produksi emisi rata-rata per tahun sejak Revolusi Industri sebanyak 35 Giga ton setara CO2.
Pada 1958, jumlah emisi rata-rata per tahun hanya 5 Gigaton. Produksi emisi melonjak sejak 1960-an, terutama setelah perang dunia usai dan tiap-tiap negara kembali membangun dengan mengeksploitasi sumber daya alam. Tahun 2018, jumlah emisi mencapai rekor dengan 55,3 Gigaton setara CO2.
Menurut para ahli, suhu bumi melampaui 20 Celsius jika konsentrasi karbon dioksida di atmosfer melewati batas kritis 500 ppm. Artinya, bumi menuju kiamat kecil tak sampai 80 ppm. Melihat kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer sejak 1800, kenaikan konsentrasi sebanyak itu tak sampai 100 tahun jika melihat tren kenaikan emisi yang melonjak dalam 30 tahun terakhir.
Kenaikan CO2 di atmosfer sebanyak 1 ppm dipicu oleh 17,3 Gigaton emisi setara CO2. Menurut Pusat Informasi Analisis Karbon Dioksida, 1 ppm CO2 dipicu oleh 2,13 Gigaton karbon.
Cara menghitungnya sebagai berikut:
Jika massa atom karbon 12 dan CO2 44, 1 Gigaton karbon sama dengan 3,67 Gigaton setara CO2. Jika 2,13 Gigaton karbon menyebabkan 1 ppm tekanan atmosfer, karena satuan emisi dihitung setara CO2, 1 ppm diakibatkan oleh emisi 7,8 Gigaton setara CO2.
Tak semua emisi menguap ke udara. Hanya 45% emisi dari aktivitas manusia yang terkonsentrasi di selubung bumi. Sisanya, atau 55%, terserap secara alamiah oleh laut dan biosfer. Dengan rasio ini maka 1 ppm tekanan CO2 di atmosfer disebabkan oleh 17,3 Gigaton emisi setara CO2.
Angka ini hampir bisa dipenuhi oleh emisi Cina dalam setahun sebanyak 10 Gigaton. Cina, dengan pembangkit-pembangkit batu bara, kini menjadi produsen emisi terbanyak di dunia. Karena itu pada September lalu, Presiden Xi Jinping mengumumkan tekad negaranya menjadi nol emisi pada 2060.
Dengan patokan ini, konsentrasi CO2 di atmosfer sebanyk 80 ppm membutuhkan 1.384 Gigaton emisi setara CO2. Jika produksi emisi rata-rata per tahun 35 Gigaton, emisi sebanyak itu tercapai tak sampai 40 tahun ke depan. Para ahli di PBB menghitung, cita-cita menjaga suhu bumi tak melewati 20 Celsius jika produksi emisi global rata-rata hanya 25 Gigaton per tahun.
Indonesia turut dalam aksi global itu. Tak hanya mitigasi perubahan iklim dengan menurunkan emisi sebanyak 41% atau 1,1 Gigaton pada 2030, pemerintah Indonesia melampui negara lain dengan menyiapkan adaptasi, yakni mendorong public berdamai dengan cuaca panas dan pelbagai bencana. Aturan soal ini tengah digodok melalui Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Jika melihat angka-angka itu, para ahli memprediksi pelbagai anomali cuaca dan suhu akan terjadi. Bentuknya berupa bencana, musim yang berubah, banjir, rob karena air laut naik akibat kutub es mencair, suhu ekstrem, kebakaran hutan. Hingga tahun lalu saja, dampak bencana membuat 20 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka per tahun.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :