SAAT artikel ini terbit, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sedang berkongres ke-4, yang berarti sedang menempuh perjalanannya lebih dari dua puluh tahun. Pada awal 1990-an, para pendiri LEI sepakat bahwa partisipasi praktik pengusahaan hutan perlu dibuka. Di masa kejayaannya saat itu, politik dan ekonomi berjalan memakai cara otoriter: hubungan sosial ditutup, informasi disaring, sehingga kebenaran publik hanya datang dari penguasa.
Saya ingat waktu itu, hampir seluruh dekan Fakultas Kehutanan di Indonesia menjadi tenaga ahli asosiasi usaha besar kehutanan. Dampaknya instruksi bagi semua dosen di perguruan tinggi untuk mengacu apa kata pimpinan mereka. Aliansi pemerintah dan swasta menjadi otoritas tunggal, sehingga pendekatan lain menuju kelestarian hutan dari luar sistem tidak mendapat tempat.
Peristiwa penting keberhasilan membentuk LEI adalah adanya dua tokoh kunci, Profesor Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan, serta Ir Djamaludin Soerjohadikoesoemo, Menteri Kehutanan. Mereka bersepakat membentuk instrumen pasar berupa sertifikasi hutan lestari atau sertifikasi ekolabel, untuk perusahaan hutan alam dan hutan tanaman.
Menjelang Reformasi 1998, LEI menggelar kongres pertama. Saat ini, ketika hutan semakin diharapkan berfungsi bagi perbaikan lingkungan hidup global dan di waktu yang sama memberi manfaat bagi kehidupan sosial-ekonomi lokal, pertanyaan-pertanyaan kritis mulai muncul.
Benarkah cara-cara memikirkan pengelolaan hutan lestari secara konvensional bisa terus dilanjutkan? Apa yang menopang praktik hegemonik yang terkait dengan tata kelola hutan konvensional itu?
Pengalaman LEI, dan berbagai lembaga sertifikasi dunia yang menjalankan programnya di Indonesia, secara umum tidak cukup menggembirakan. Asumsi bahwa mengadopsi sertifikasi dengan memenuhi standar kelestarian akan membawa manfaat, tak berkembang di perusahaan. Manfaat mengikuti sertifikasi hanya terbatas dalam lingkaran perusahaan yang punya misi kelestarian jangka panjang.
Misi itu tidak mudah ditularkan kepada perusahaan yang lain. Tata kelola buruk di kehutanan membuat transfer pengetahuan itu macet.
Hal ini serupa dengan evaluasi Komisi Pemberantasan Korupsi atas pelaksanaan sistem perizinan secara online. Hanya perusahaan berkualifikasi baik yang memanfaatkan instrumen itu dan dapat mengurangi nilai suap perizinan hingga 60 persen. Perusahaan dengan kualifikasi buruk tetap memilih menyuap untuk mendapatkan izin.
Untuk itu sejalan dengan kongres LEI, sebaiknya ada refleksi bahwa tata kelola hutan terkunci mitos-mitos ekspresi kekuasaan diskursif, kelembagaan maupun sumber daya yang didasarkan pada warisan historis kolonial.
Global Sustainability menerbitkan “Unearthing the myths of global sustainable forest governance”. Delabre, dkk (2020) mengidentifikasi lima mitos yang masih bertahan dalam tata kelola hutan hingga hari ini:
Pertama, negara dapat mengelola hutan secara independen untuk kepentingan rakyat. Kedua, pengelolaan hutan lestari terancam oleh petani skala kecil dan rakyat yang mencari nafkah di pinggiran hutan. Ketiga, pasar menjadi solusi untuk deforestasi dan degradasi hutan. Keempat, apa yang dihitung dan dinilai hanya apa yang dimanfaatkan. Kelima, inisiatif tata kelola hutan lestari menyertakan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
Mitos tersebut bisa kita pahami sebagai cerita naturalisasi yang bertahan dari waktu ke waktu yang mencerminkan ideologi, mengurangi ketidakpastian, dan memandu praktik sehari-hari Maja Essebo (2018) menambahkan bahwa mitos tidak salah menurut definisi, tetapi kebenaran dan sifat kompleksnya menjadi tidak relevan dengan situasi kini, serta menarik kekuatan mereka dari keyakinan, bukan fakta, dan tidak dapat dibantah oleh argumen logis atau silogisme.
Mitos menyatukan banyak orang sambil mengecualikan orang lain, atau memperkuat hierarki yang ada, meminggirkan suara-suara kritis atau berbeda pendapat, sangat penting untuk kelestarian mereka.
Dari mitos-mitos tata kelola hutan yang telah disebut Izabela Delabre, kita juga bisa melihat dalam kenyataannya bahwa negara memang tidak sepenuhnya entitas independen dan otonom yang terbebas dari kepentingan lain. Sebaliknya, pengelolaan hutan diatur oleh aktor berpengaruh yang memiliki kepentingan kuat bagaimana hutan dieksploitasi atau dilindungi dan oleh siapa.
Untuk itu, perbedaan antara milik negara dan milik swasta, sering kali kurang menggambarkan perbedaan tata kelola hutan sehari-hari, karena dalam praktiknya kategori kepemilikan seperti itu tidak berarti. Delabre menyebut bahwa kehutanan di Asia Tenggara dan global kini menunjukkan ekonomi politik suram karena korupsi, kurangnya transparansi, kekerasan, dan perampasan, dianggap biasa.
Siapa yang bertanggungjawab atas deforestasi juga sering kali dialamatkan kepada sekelompok pelaku dengan tanpa memperhatikan ekonomi-politik lebih luas atau pendorong sosial-politik yang kompleks. Narasi semacam itu telah bertahan selama beberapa dekade dan sering kali berakar pada kebijakan kolonial untuk mengontrol petani dataran tinggi dan reforma agraria.
Demikian pula peran pasar. LEI telah membuktikan pasar gagal mewujudkan manajemen hutan lestari. Upaya pelestarian hutan juga tidak cukup dilakukan hanya dengan menghitung manfaat ekonomi total dari hutan maupun proses partisipasi masyarakat yang hanya sebatas sebagai syarat administrasi.
Untuk itu program pelestarian hutan ke depan semestinya tidak lagi berpijak pada lima mitos di atas, yang mendominasi pendefinisian masalah dan respon kebijakan terhadap krisis kelestarian hutan.
Sebagaimana John F. Kennedy—presiden Amerika Serikat ke-35—ucapkan, “The great enemy of the truth is very often not the lie, deliberate, contrived and dishonest, but the myth, persistent, persuasive and unrealistic. Musuh terbesar dari kebenaran sering kali bukan kebohongan, kesengajaan, tidak jujur, tetapi mitos, gigih, persuasif, dan tidak realistis
Kita perlu membuktikan mitos itu berdasarkan fakta yang tersedia. Lalu memeriksa bagaimana mereka tecermin dalam kebijakan dan praktik sehari-hari sehingga menjadi langkah penting melawan dampaknya terhadap tata kelola hutan yang tidak lestari.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :