Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 29 November 2020

Komunikasi dalam Konservasi Satwa Liar

Komunikasi menjadi kunci sukses konservasi satwa liar. Pekerjaan konservasi satwa liar memang identik dengan hal-hal terkait biologi, namun solusinya terletak pada manusia.

Sepasang yaki (Macaca nigra) di Tangkoko, Sulawesi Utara. Yaki, monyet berbulu hitam dengen bulu jambul di kepala dan pantat merah muda, adalah dewan endemik Sulawesi Utara. Di Tangkoko, yaki diperkirakan berjumlah 3.000 ekor. Jumlah ini terus menyusut seiring perburuan dan habitat mereka yang menghilang karena penebangan pohon. Orang lokal memburu yaki untuk diambil dagingnya, terutama sebagai hidangan  saat Natal dan Tahun Baru. (Foto: Wiene Andriyana)

KONSERVASI satwa liar dan komunikasi belum pernah sedekat seperti saat ini. Lebih dari 20 tahun lalu, ketika belajar di Fakultas Kehutanan IPB, saya tidak pernah membayangkan pentingnya ilmu komunikasi dalam bidang ilmu yang saya pelajari. 

Dengan pendekatan yang masih cenderung terkotak-kotak saat itu, komunikasi identik dengan ilmu sosial dan berhubungan dengan manusia, sementara konservasi identik dengan pekerjaan teknis di lapangan. Titik temu keduanya tidak serta merta kasat mata. Konservasi memang identik dengan hal-hal terkait biologi, namun solusinya terletak pada manusia.

Konstruksi Kayu

Kebanyakan teori komunikasi berkembang dari ilmu sosiologi, psikologi, dan antropologi. Secara umum komunikasi tentang proses pertukaran ide, berbagi pemikiran, dan penyampaian pesan. Komunikasi tergolong berhasil jika pesan dari pengirimnya bisa dipahami penerimanya dan membawa perubahan atau dampak sesuai harapan pembuat pesan.

Dalam konservasi satwa liar, komunikasi yang efektif penting setidaknya untuk mempengaruhi kebijakan, mengubah perilaku manusia, menjaring sumber daya dan pendanaan, juga merangkul sukarelawan. Ada tiga hal mengapa komunikasi menjadi kunci sekaligus tantangan dalam konservasi satwa liar.

Pertama, isu konservasi satwa liar tak secara langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Berbeda dengan konservasi lain, seperti ekoturisme atau kegiatan menanam pohon yang bisa dilakukan semua orang. Dalam konservasi satwa liar, ada kesulitan membayangkan kaitan langsung antara manusia di kota dengan harimau atau gajah di hutan belantara.

Tantangannya adalah membingkai pesan konservasi satwa liar agar menyentuh sisi emosional masyarakat. Pengirim pesan harus berupaya mempengaruhi opini publik untuk mendukung misi konservasi. Karenanya, pemilihan media komunikasi dan narasi yang membingkai pesan tersebut harus dibuat dengan pendekatan multidisiplin, multiperspektif dan lintas sektoral agar tetap relevan.

Kedua, sisi multiperspektif membingkai isu konservasi bisa menimbulkan noise bahkan distorsi dalam penyampaian pesan, seperti diulas dalam Communication Skills for Conservation Professional. Noise muncul dari perbedaan persepsi, nilai budaya, latar belakang pendidikan, umur, dan kepentingan antara pembuat dengan penerima pesan.

Akibatnya, dampak yang tidak diinginkan malah terjadi. Contohnya, harimau yang dinilai penting oleh para konservasionis, dianggap representasi kekuatan dan pengaruh oleh orang kota, tapi sebagai ancaman—seperti pemakan ternak dan manusia—oleh penduduk sekitar habitatnya, meski dianggap keramat.

Ketiga, terbatasnya keterampilan komunikasi para pegiat dan ilmuwan konservasi terkadang membuat pesan tidak tersampaikan secara efisien.

Berbagai kerja konservasi perlu dukungan sumber daya dan dukungan politis/strategis dari pihak-pihak yang tidak berlatar belakang teknis konservasi. Penyampaian pesan konservasi yang terlalu rinci dan teknis akan kurang mengena bagi pihak tertentu, misalnya calon donor atau otoritas regional.

Komunikasi tidak hanya mengacu pada pesan melalui media cetak atau digital, juga komunikasi verbal, baik formal maupun informal. Komunikasi juga menjadi media negosiasi. Baik ketika berkomunikasi dengan pembuat kebijakan, menggalang dukungan publik dan donor, menyediakan informasi cepat bagi reporter atau jurnalis, pegiat konservasi dan ilmuwan perlu mengasah keterampilan komunikasinya, dan bicara dengan bahasa dan memahami pengetahuan mereka.

Menunjukkan bukti dan contoh yang mengena akan penting dibanding sekadar berbicara normatif. Pada era pandemi ini, keterampilan komunikasi verbal secara virtual menjadi bernilai untuk menyampaikan pesan konservasi secara efektif dan tepat sasaran.

Keterampilan meramu dan melakukan elevator pitch terkait konservasi satwa liar penting untuk diperkuat. Dalam Communication and Wildlife Conservation ada contoh di Italia tentang peran seorang komunikator andal menjadi lebih menonjol dibandingkan para ahli teknis konservasi.

Sementara sebuah artikel pada jurnal Conservation Biology menekankan pentingnya lulusan sarjana konservasi untuk juga memiliki keterampilan komunikasi, agar memiliki peluang kerja yang lebih baik dalam bidangnya.

Pada tataran global, Konvensi Internasional untuk Keragaman Hayati (CBD)  menyediakan instrumen berupa  Convention’s Communication, Education and Public Awareness (CEPA) untuk membantu negara mencapai target Aichi yang pertama, yakni peningkatan kesadaran publik untuk konservasi keragaman hayati.

Dengan segala tantangan dalam komunikasi terkait upaya konservasi satwa liar, Indonesia mengalami banyak kemajuan. Berbagai bentuk inovasi dan media komunikasi kekinian telah diaplikasikan oleh pemerintah, LSM, dan berbagai pihak.

Dalam tulisannya di Forest Digest, Strategi Konservasi di Era Digital, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem secara khusus menyoroti pentingnya menggunakan media komunikasi digital, terutama berbagai platform media sosial, untuk menyampaikan kepada publik tentang berbagai kebijakan pemerintah terkait konservasi.

Melalui SK. 328/KSDAE/ PJLHK/ICSA.3/7/2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memiliki strategi komunikasi untuk konservasi alam, yang khusus berfokus pada jasa lingkungan, yaitu ekoturisme. Belum ada yang spesifik untuk satwa liar, namun sudah banyak pembelajaran di ranah ini.

Indikator keberhasilan upaya konservasi satwa liar tidak cukup hanya dilihat dari jumlah kenaikan populasi, juga pesan dan informasi konservasi yang tersampaikan secara efektif kepada masyarakat. Untuk itu butuh lebih dari sekadar dokumen strategi komunikasi saja, juga melalui berbagai aksi nyata di lapangan secara terukur.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain