KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendak membangun sejumlah persemaian berskala besar untuk memproduksi bibit pohon yang berdampak secara ekologi dan ekonomi. Ketika menemani kunjungan Presiden Joko Widodo ke Pusat Sumber Benih Persemaian Rumpin pada 27 November 2020, Menteri Siti Nurbaya mengatakan Pusat Benih Rumpin akan dibangun komprehensif dengan skala 10-15 juta benih per tahun.
Luas Pusat Benih Rumpin 128 hektare. Menurut Siti, pembangunan komprehensif akan selesai pada 2021. Selain Rumpin, ada lima pusat benih lain yang akan dikembangkan pemerintah, yakni di Kalimantan Timur seluas 120 hektare, di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara seluas 37,25 hektare, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur 30 hektare, Mandalika Nusa Tenggara Barat 32,25 hektare, dan Likupang, Sulawesi Utara 30,33 hektare.
Selama ini kebutuhan bibit pohon berasal dari pengada-pengada bibit yang menjamur sejak program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) beberapa tahun yang lalu. Lainnya dari persemaian permanen yang dibangun oleh 34 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) di 34 provinsi dengan kapasitas 1-2 juta bibit per tahun.
Seriuskah pemerintah menggenjot rehabilitasi lahan?
Keberhasilan penanaman pohon tak sekadar membangun persemaian, juga pengelolaan pengangkutan dan distribusi, serta pengelolaan penanaman dan pemeliharaan. Karena itu, pembangunan persemaian berskala besar 2021, mesti mempertimbangkan hal-hal berikut, berdasarkan pengalaman saya terlibat dalam gerakan rehabilitasi:
Pertama, rencana lokasi penanaman harus disiapkan dengan matang satu tahun sebelum rehabilitasi. Pengalaman saya di Bone, Sulawesi Selatan, pada 1990-an membuktikan produksi bibit pohon berkualitas baik, tidak termanfaatkan karena lokasi penanaman tidak disiapkan lebih dulu.
Bibit terbuang karena tak sesuai dengan keinginan masyarakat. Padahal dibagikan gratis. Mereka ingin bibit pohon serbaguna, seperti buah-buahan. Mesti diingat pula, usia bibit maksimal 6 bulan. Lewat dari usia itu, ongkos angkut akan mahal karena akarnya sudah membesar.
Kedua, kebijakan membangun persemaian berskala besar akan sia-sia tanpa dibarengi dengan tata kelola pengangkutan dan distribusi serta penanaman dan pemeliharaan tanaman. Jangan sampai target KLHK tak sesuai karena ketidaksiapan tahap setelah persemaian.
Jika memakai hitungan kasar saja, jika semua bibit yang diproduksi BPDASHL sukses akan ada 74 juta bibit pohon setahun dari seluruh provinsi. Dengan persemaian besar, total bibit setahun mencapai 140 juta bibit.
Apabila jarak tanam 2 x 3 meter di lahan kritis, rehabilitasi mampu 85.000 hektare per tahun. Sedangkan jika jarak tanam 5 x 5 meter, luas rehabilitasi 280.000 hektare. Ini asumsi rehabilitasi di kawasan hutan yang terdegradasi yang kini mencapai 34 juta hektare.
Ketiga, jarak angkut distribusi bibit dari lokasi persemaian ke penanaman sangat menentukan kesehatan bibit. Makin jauh jarak angkut, kesehatan bibit makin menurun kondisinya. Makin jauh juga biaya akan makin besar. Jarak paling ideal dari lokasi persemaian ke lokasi penanaman adalah 5 kilometer.
Keempat, kegiatan penanaman dan pemeliharaan adalah tahap paling penting dalam rehabilitasi lahan. Menurut Menteri Siti Nurbaya, luas lahan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL terus dinaikkan. Pada 2018 sekitar 23.000-25.000 hektare, tahun 2019 207.000 hektare dan tahun ini 403.000 hektare.
John Wyatt-Smith, ahli ekologi hutan dari Inggris, mengklasifikasikan proses terjadinya pohon menjadi empat tahap: semai permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 meter, sapih permudaan dengan tinggi 1,5 meter hingga berdiameter < 10 sentimeter, fase tiang ketika pohon berdiameter 10-35 sentimeter, dan pohon dewasa ketika diameternya > 35 sentimeter. Untuk menjadi pohon dewasa dari bibit mulai ditanam membutuhkan waktu 15-20 tahun.
Kementerian Lingkungan baru merencanakan pembibitan dengan pemeliharaannya selama dua tahun. Artinya, pemeliharaan diserahkan kepada alam. Jadi akan berhasilkah rehabilitasi itu.
Rehabilitasi hutan perlu pengawalan hingga pohon berusia dewasa. Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) di daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kehutanan perlu mengawal rehabilitasi agar tujuannya sesuai. Di tengah isu pemanasan global, rehabilitasi terlalu penting dari sekadar rencana persemaian.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :