Kabar Baru| 03 Desember 2020
Pemanasan Global Makin Dekat
PEMANASAN global kemungkinan datang lebih cepat. World Meteorological Organization PBB mengumumkan laporan tahunan pada 2 Desember 2020 bahwa tahun 2020 menjadi tahun terpanas dengan kenaikan 1,20 Celsius dibandingkan rata-rata suhu bumi 1850-1900.
Periode tahun itu menjadi patokan menghitung pemanasan global, yakni 100 tahun setelah dimulainya Revolusi Industri dengan tanda penemuan mesin uap. WMO mengoleksi data dari puluhan stasiun pemantauan cuaca yang dianalisis oleh puluhan ahli iklim dari seluruh dunia. Hasilnya, meski tahun ini periode La Niña, kemarau basah, tak membuat bumi menjadi lebih dingin.
Dalam satu dekade terakhir, tahun-tahun terpanas ditandai oleh El Niño, kemarau kering, seperti tahun 2016. Di tahun itu kenaikan suhu bumi naik 1,10 Celsius. La Niña dan pandemi virus corona sejak Maret 2020 yang menghentikan semua aktivitas manusia tak membuat suhu bumi mendingin. Akumulasi gas rumah kaca di atmosfer sebelum pandemi membuat konsentrasi gas di selubung bumi mencapai angka tertinggi, 420 part per million.
“Setidaknya ada satu dari lima kemungkinan untuk sementara melebihi 1,5 ° Celsius pada 2024,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dalam rilis pada 2 Desember 2020.
Sepanjang tahun ini, panas laut mencapai rekor baru dengan 80% laut mengalami gelombang panas. Dengan kemampuannya menyerap 23% emisi yang dipantulkan atmosfer, laut mengalami pengasaman parah akibat reaksi CO2dan H2O yang menghasilkan asam karbonat yang membuat karang jadi putih.
Pemutihan karang mengancam biota laut. Akibat panas juga membuat permukaan laut naik 98 milimeter dibandingkan tahun 1993 akibat hamparan es di kutub utara mencair, dengan rata-rata kenaikan 3,3 milimeter per tahun. Tahun ini Greenland kehilangan es sebanyak 152 Gigaton.
Kota Verkhoyansk di Siberia mencatat suhu terpanas sepanjang sejarah, 380 Celsius pada 20 Juni, dengan rata-rata kenaikan 50 Celsius dibanding suhu tahunan sebelumnya. Kenaikan suhu di kutub Utara itu memicu sejumlah kebakaran hebat. Setidaknya ada 18 kali kebakaran yang melontarkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Karena itu, kendati pandemi dan La Niña, emisi tetap tinggi dan suhu menjadi naik.
Di belahan bumi lain, sejumlah bencana akibat penyelewengan iklim memakan korban dan menelan ongkos ekonomi yang mahal. Jumlah badai di Atlantik mencapai rekor baru, banjir di sejumlah negara Afrika, dan negara tropis seperti India, Bangladesh, dan Pakistan yang membuat penduduk mengungsi dan kekurangan pangan.
Selain kekeringan, musim hujan di belahan dunia selatan membuat banjir bandang yang tak terantisipasi. India dan Pakistan mengalami salah satu musim hujan terbasah sejak 1994 pada Agustus. Di Afrika, banjir bahkan menewaskan ratusan orang dan memicu wabah belalang di lahan pertanian.
Di Cina banjir sungai Yangtze di daerah hulu menelan kerugian ekonomi senilai US$ 15 miliar dengan menelan korban jiwa 279 orang selama tahun ini. Sementara Australia memecahkan rekor panas pada awal 2020, termasuk di wilayah metropolitan Australia, di Sydney barat ketika suhu Penrith mencapai 48,9° pada 4 Januari.
Jumlah siklon tropis secara global juga berada di atas rata-rata dengan 96 siklon pada 17 November di Utara dan Selatan, dua kali lipat jumlah siklon selama 1981-2010. Topan Amphan pada 20 Mei di dekat perbatasan India-Bangladesh adalah topan tropis termahal yang pernah tercatat di Samudra Hindia Utara, dengan kerugian ekonomi sekitar US$ 14 miliar.
Secara total, jumlah pengungsi akibat pelbagai bencana itu mencapai 10 juta orang. Pandemi virus corona membuat penanganan bencana menjadi sulit. Di Filipina, pemerintah kesulitan mengungsikan 180.000 orang akibat topan Vongfong pada Mei karena ketentuan jaga jarak.
Ketahanan pangan juga ikut terganggu. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO) dan World Food Program, lebih dari 50 juta orang terdampak kerawanan pangan akibat pelbagai bencana dan pandemi.
Dengan pelbagai indikator pada 2020, Petteri Talaas meminta seluruh dunia kian keras membuat kebijakan mitigasi iklim. Tahun ini merupakan tahun pertama 197 negara mulai melaksanakan janji mereka dalam mitigasi perubahan iklim dalam Perjanjian Paris 2015.
Semua negara berjanji hendak menurunkan emisi untuk menahan suhu bumi naik tak lebih dari 1,50 Celsius pada 2030 dengan menahan produksi emisi untuk menekan konsentrasi gas rumah kaca tak melewati 450 ppm. Dengan melihat suhu tahun ini, Talaas pantas cemas karena kenaikan suhu bumi akan datang lebih cepat dari perkiraan semula.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :