Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 04 Desember 2020

Dan Kematian Makin Akrab

Pandemi virus corona covid-19 membuat kematian jadi terasa makin akrab dan dekat. Sesungguhnya ia keniscayaan.

Pohon mati (Foto: Free Photos/Pixabay)

KEMATIAN semakin akrab. Puisi Subagio Sastrowardoyo jadi terasa relevan hari-hari ini. Bukan saja karena setiap hari kita membaca berita kematian akibat pandemi virus corona covid-19, juga karena puisi itu mengajak kita agar tak jeri dengan kematian. 

Kematian, tulis Subagio, “seakan kawan berkelakar, yang mengajak tertawa” atau “hanya selaput/gagasan yang gampang diseberangi”. Ada atau tak ada pandemi, yang lahir pasti mati, yang datang pasti pergi, sebab berpisah adalah buah dari pertemuan.

Konstruksi Kayu

Saya tidak perlu mengutip sejumlah ayat atau hadis yang menerangkan hal ini. Kita semua, tanpa terkecuali, sudah memahaminya dengan baik.

Namun, meski mengetahui dan memahami kepastian akan kematian, kita tetap masuk ke dalam duka yang amat dalam saat ada orang-orang terdekat kita meninggal. Bahkan bukan hanya duka, kita masuk begitu jauh dalam kekosongan yang tidak jarang mengubah kesehatan psikologis banyak orang.

Kenapa sesuatu yang sangat mudah dimengerti, sesuatu yang sangat sederhana dipahami, begitu susah dijalani?

Ada banyak sebab. Tapi bisa kita sederhanakan dalam dua hal. Pertama, kita tidak ingin mempraktikkan rasa kehilangan. Setiap ada yang berbicara tentang kematian, kita selalu menghindar. Kita bilang, “Sudah, jangan ngomong soal mati.” Karena selalu menghindarinya, kita menjadi tidak terlatih menghadapi kematian.

Ini seperti seorang yang belajar teori berenang dari buku, tapi tidak pernah mempraktikkannya. Akibatnya, saat jatuh dari perahu, dia tidak bisa menggunakan teori yang dipahaminya dengan baik.

Kematian bukanlah kejahatan. Kematian tidak melanggar etika, jadi tidak perlu menghindarinya. Kita hanya perlu melatihnya: merelakan kepergian orang-orang terdekat kita setiap hari. Ya, setiap hari kita harus berlatih merelakan orang-orang terdekat. 

Dalam doa kita bukan hanya berkata, “Tuhan, ya Allah, berilah kesehatan kepada anak dan suami/istri saya.” Kita juga harus sering berdoa, “Tuhan, kalau Kau mau ambil mereka sekarang, saya merelakannya.”

Pada awalnya, ketika saya berdoa seperti ini, beratnya bukan main. Seolah-olah saya mendoakan kematian seseorang. Tidak. Kita tidak sedang mendoakan keburukan, kita sedang mengamalkan kalimat yang sering kita ucapkan saat ada orang meninggal: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun.”

Kalimat itu susah ditelan jika kita hanya menyadarinya saat ada orang yang meninggal. Kalimat itu harus dilatih setiap hari agar kita bisa menyadari dan merelakan kematian. Bahkan kematian kita sendiri.

Kematian itu hal pasti. Sesuatu yang akan datang kepada kita atau orang-orang yang kita cintai. Kenapa harus menghindari dan menolak sesuatu yang pasti, kenapa tidak memeluknya dengan tersenyum?

Kematian itu sama baiknya dengan kelahiran. Kepergian sama membahagiakannya dengan kedatangan.

Seorang pernah menggambarkan kehidupan ini seperti menonton konser musik. Kita begitu menikmati konser itu saat berlangsung. Ketika konser selesai dan lampu dipadamkan, dalam perjalanan pulang, kita akan tersenyum membicarakan konser yang hebat itu.

Kita hanya perlu membuat kehidupan ini penuh senyum dan membahagiakan seperti konser yang baik, hingga saat ada yang meninggal kita akan mengenangnya dengan tersenyum. Kita mengenang setiap detik yang berarti dengan bahagia. Tak mudah, tapi banyak orang berhasil melakukannya.

Pandemi memang menakutkan, terutama karena jumlahnya yang gigantis seperti hari ini. Tapi ketakutan itu pula yang akan membuat kita jadi cemas dan melupakan hakikat pandemi. Sesungguhnya ia peringatan bagi manusia agar membuat jeda, karena virus muncul akibat kehilangan inang satwa liar yang habitatnya kita rebut dan rampas untuk kesenangan dan kebutuhan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain