Kabar Baru| 06 Desember 2020
Target Penurunan Emisi Indonesia Kurang Ambisius
DALAM pertemuan iklim 2015 di Paris, Indonesia berjanji menurunkan produksi emisi sebanyak 29% dengan usaha sendiri dan 41% jika ada bantuan internasional pada 2030. Penurunan emisi itu dibandingkan dengan produksi emisi 2010 sebanyak 2,8 Gigaton setara CO2.
Selain meratifikasi target ini pada 2016, pemerintah memasukkannya kembali dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang nilai ekonomi karbon yang kini tengah memasuki tahap konsultasi publik. Menurut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Wahanan Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dalam diskusi Tempo Media Week 4 Desember 2020 malam, target Indonesia itu kurang ambisius.
Nur Hidayati menyandarkannya pada kajian Walhi pada Oktober 2020 yang menghitung jatah produksi emisi Indonesia hingga 2050 dan 2100. Kajian tersebut berpatokan pada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), panel ilmuwan di bawah PBB, pada 2018 yang menetapkan bujet karbon global untuk menahan kenaikan suhu bumi tak lebih 1,50 Celsius dibanding suhu rata-rata praindustri pada 1850-1900.
Untuk menahan laju suhu bumi di bawah masa praindustri itu tersebut sebanyak 197 negara mengajukan proposal penurunan emisi mereka yang dimulai tahun 2020. Indonesia, meski bukan negara yang wajib menurunkan emisi seperti negara maju, berjanji menekan produksi emisi sebanyak 835 juta ton setara CO2 hingga 1,1 Gigaton pada 2030.
Suhu sebanyak itu merupakan puncak pemanasan global akibat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melonjak dibanding masa praindustri. Selama 10.000 tahun konsentrasi enam gas rumah kaca di selubung bumi stabil 280 part per million. Tahun ini jumlahnya mencapai rekor baru sebanyak 420 ppm yang membuat suhu bumi naik 1,20 Celsius. Untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5C, konsentrasi gas rumah kaca tak boleh melebihi 500 ppm.
Menurut perhitungan Walhi memakai keadilan emisi, dengan bujet karbon global sebanyak 420 Gigaton pada 66% peluang dan 520 Gigaton 50% peluang, jatah produksi karbon Indonesia hingga 2050 sebanyak 14,8 Gigaton pada 66% peluang dan 20,5 Gigaton pada peluang 50%.
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang produksi emisi pada 2018 sebanyak 1,6 Gigaton, skenario penurunan emisi 41% pada 2030 tak berarti banyak dalam penurunan suhu global. “Jika produksi emisi ini konstan, jatah emisi Indonesia habis pada 2027,” kata Nur Hidayati.
Dengan skenario mitigasi tanpa aksi, suhu global akan naik 3-40 Celsius pada 2050. Menurut perhitungan Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi suhu Indonesia pada 2030 akan naik 0,5C dibandingkan tahun ini. Sebelum kenaikan suhu itu saja, sejumlah pantai di Indonesia menghilang akibat muka air laut naik 2 meter dalam 40 tahun terakhir.
Krisis iklim memicu pelbagai bencana, baik hujan deras melebihi daya tampung tanah maupun kekeringan yang membuat pasokan air bersih berkurang dan berimbas pada ketersediaan pangan akibat hama dan paceklik. Pandemi virus corona adalah buah kenaikan suhu bumi akibat emisi menaikkan radiasi sinar matahari.
Sejumlah bencana di Indonesia dalam satu dekade terakhir, menurut Nur Hidayati, dipicu oleh pemanasan global. Selain banjir, angin puting beliung adalah jenis bencana paling sering melanda Indonesia, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana selama tahun ini.
Perhitungan Walhi berbeda dengan skenario pembangunan rendah karbon yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2020-2045. Memakai skenario low carbon development index (LCDI) dengan skenario plus sekalipun, jumlah emisi Indonesia pada 2045 hanya turun 600 juta ton setara CO2.
Karena itu Walhi menyarankan agar Indonesia merevisi target penurunan emisi hingga 78% dari skenario business as usual emisi 2010. Selama 30 tahun ke depan, pemerintah Indonesia mesti secara radikal menurunkan emisi rata-rata 15% per tahun agar mencapai nol pada 2050.
Negara-negara lain sudah menargetkan nol emisi pada 2050-2060. Negara-negara Uni Eropa sudah membuat target itu, termasuk Cina, emiter terbesar dunia, yang mematok nol emisi pada 2060. Denmark dan Norwegia bahkan lebih radikal. Mereka hendak nol emisi pada 2030.
Indonesia, sementara itu, justru berjalan sebaliknya. Peraturan Presiden Nomor 109/2020 yang memuat 201 proyek strategis 2020-2024 akan menggenjot infrastruktur dan mengeruk batu bara lebih banyak lagi. Dengan teknik gasifikasi batu bara, Indonesia menargetkan bisa memproduksi 1,4 juta ton dymethil ether per tahun pada 2024 dengan mengeruk 6 juta ton batu bara setahun. Padahal, emisi DME lima kali lebih tinggi dibanding gas alam cair yang hendak digantikannya.
Proyek-proyek pemerataan ekonomi dan menyerap karbon, seperti perhutanan sosial dan tana untuk reforma agraria, dihapus dari daftar proyek strategis. Usaha restorasi ekosistem tak kunjung mendapat kepastian melalui insentif dan dorongan multiusaha di hutan produksi.
Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara dalam diskusi Tempo Media Week itu, bahkan lebih pesimistis lagi dengan menunjukkan data banyaknya lubang tambang di sekujur pulau Indonesia. Undang-Undang Cipta Kerja akan mendorong industri pengerukan sumber daya alam lebih masif lagi karena fasilitas perpanjangan kontak tanpa limit.
Jalan produksi energi Indonesia juga belum condong pada energi terbarukan. Pembangkit tenaga uap dan diesel yang bersumber dari batu bara terus bertambah di beberapa lokasi yang pasokan listriknya berlebih. Padahal, sektor energi adalah penentu utama produksi emisi Indonesia, selain deforestasi yang direncanakan terdorong naik dengan rencana pembangunan masif lumbung pangan (food estate).
Dorongan agar Indonesia lebih ambisius menurunkan emisi diakui Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman. Menurut dia, kenaikan target dari 26% menjadi 29% pada 2030 sudah ambisius. Ia optimistis target itu tercapai. “Kalau kita bisa konsisten menekan kebakaran hutan dan lahan seminimal mungkin,” katanya (pernyataan Ruandha tentang strategi mencapai penurunan emisi selengkapnya ada di sini).
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :