AJENG Adventiaputri dan beberapa koleganya di Katingan-Mentaya Project (KMP) tidak menganggap kunjungan beberapa tamu dari Jakarta pada Mei 2019 sebagai hal istimewa. Para tamu ikut berbaur dengan Ajeng dan rekan-rekannya, mengikuti jadwal kegiatan KMP, berbincang lepas, dan menunjukkan rasa ingin tahu terhadap apa saja yang dikerjakan Tim KMP sejak 2013.
Saat rombongan tiba di basecamp lapangan Tim KMP untuk menginap semalam, Ajeng melihat sesuatu yang istimewa, yakni peranti yang dibawa oleh dua orang. “Mereka membawa alat yang belum pernah kami lihat sebelumnya, bentuknya seperti speaker biasa yang bisa mengeluarkan nada-nada seperti dentingan piano,” kata Ajeng.
Ia makin penasaran karena ketika probe dijepitkan ke daun atau ditancapkan ke tanah, pelantang suara itu mengeluarkan bunyi-bunyi yang berbeda. Ketika tanamannya dipindah dari area yang teduh ke area yang terpapar sinar matahari, bunyi yang muncul pun berbeda. “Di telinga saya saat itu, terdengar seperti jeda antar nadanya lebih rapat,” kata Ajeng.
Peranti itu bernama Nada Bumi “Solo”. Ini buah karya Digital Nativ, sebuah studio fabrikasi digital dan prototipe di Jakarta, yang dikembangkan sejak 2017 oleh dua anak muda, Miebi Sikoki dan Sarah Jane. Keduanya membuat Nada Bumi untuk mengetahui perubahan iklim dan kerusakan ekologi melalui peranti digital.
Nada Bumi Solo seperti membuktikan tesis Charles Darwin dua abad lalu, yang dikembangkan di era modern oleh Monica Gagliano, bahwa tumbuhan bisa bicara dan berhubungan seks. Juga penulis Zhang Ningyang yang mengatakan bahwa tanah, bumi kita, bisa bernapas.
Menurut Sarah Jane, perempuan Selandia Baru, Nada Bumi bermula dengan sebuah ekspedisi keliling Indonesia selama delapan hari sejauh 48.223 kilometer untuk mengumpulkan biodata ekosistem. Semua data yang terkumpul dalam bentuk sampel, dari suara, udara, warna, maupun material padat seperti tanah vulkanis, batuan, lempung tepi sungai dan lainnya, mereka imajinasikan ulang menjadi sebuah karya instalasi audio visual interaktif berbentuk tabung akrilik yang berukuran masif.
Miebi, laki-laki Indonesia yang fasih berbahasa Inggris, dan Sarah menghabiskan sebagian besar tahun 2018 merancang dan mengembangkan Nada Bumi “Solo”, dengan kolaborasi bersama Invisible Flock (IF), sebuah artist-collective dari Inggris. Instalasi ini terinspirasi oleh kemampuan tumbuhan untuk menghasilkan energi listrik. “Kami berpikir untuk menampilkan fenomena ini secara lebih khusus dalam medium yang tepat,” kata Sarah.
Pada prinsipnya Nada Bumi adalah pengubah impuls listrik menjadi suara. Miebi dan Sarah menguji coba dengan mengembangkan pemrosesan sinyal yang lebih canggih sembari mendalami ilmu elektrofisiologi tumbuhan. “Butuh setahun bagi kami untuk menghasilkan rangkaian printed circuit board yang paling cocok untuk ‘Solo’,” kata Sarah.
Uji coba tersebut pada akhirnya terbayar tuntas saat akhirnya peranti ini diperkenalkan kepada khalayak umum melalui media sosial di awal 2019. Menurut Sarah, respons audiens sangat positif. Selain benar-benar menyimak, banyak pertanyaan dan komentar positif pun untuk mereka.
Untuk memantik kesadaran lebih banyak orang, pada September 2019 Miebi dan Sarah mengunjungi kantor pusat Katingan-Mentaya Project di Sampit di Kalimantan Tengah. Mereka bertemu lagi dengan Ajeng untuk mendiskusikan sekaligus memberikan pelatihan membuat peranti Nada Bumi “Solo”.
“Kami terkesan dengan apa yang dilakukan KMP di lapangan,” kata Sarah. “Kunjungan pertama ke sana membuka mata kami bahwa ekologi dan ekonomi bukan lagi dikotomi yang harus selalu dipertentangkan. Bahkan, kedua hal itu seharusnya sudah menjadi prasyarat bagi model ekonomi di masa depan.”
Sarah dan Miebi ingin Nada Bumi Solo tersebar lebih luas untuk dipakai dalam dalam program edukasi publik. Keduanya kini sedang mengerjakan membuat setidaknya 10 unit peranti Solo untuk Katingan-Mentaya Project.
Nada Bumi Solo bisa melihat pola sinyal listrik dalam tumbuhan yang dikorelasikan dengan intensitas cahaya matahari. Karena itu Ajeng kerap membawanya ke mana pun untuk kampanye mengenai konservasi dan restorasi ekosistem ke desa-desa di dalam maupun wilayah konsesi KMP. Ajeng menunjukkan kemahiran Nada Bumi Solo mengeluarkan nada di hadapan siswa sekolah dasar dan menengah. “Anak-anak senang mendengar pohon bernyanyi,” kata Ajeng.
Artikel ini terbit atas kerja sama Forest Digest dan Katingan-Mentaya Project.a
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Intisiatif restorasi ekosistem seluas 157.000 hektare di Kalimantan Tengah yang dikelola PT Rimba Makmur Utama sejak 2013
Topik :