Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 Desember 2020

Ukuran Baru Tinggi Gunung Everest

Pemerintah Cina dan Nepal meresmikan ukuran baru gunung Everest. Mengakhiri perdebatan panjang soal ukuran sahih gunung tertinggi di dunia ini.

Dikdan Kulung (kiri) bersama penduduk lain di Himalaya berlatar puncak Everest.

PERDEBATAN panjang soal berapa tinggi sebenarnya gunung Everest berakhir sudah. Dari ekspedisi bersama antara pemerintah Cina dan Nepal pada Mei lalu, kedua negara sepakat ketinggian baru gunung ini adalah 8.848,86 meter dari permukaan laut. Ukuran baru ini lebih tinggi 86 sentimeter dari tinggi resmi semula yang bertolak dari pengukuran surveyor Inggris di India, George Everest, sejak 1954.

Menteri Luar Negeri Nepal Pradeep Kumar Gyawali mengumumkan ukuran baru itu pada telekonferensi dengan pejabat pemerintah Cina, Wang Yi, pada 8 Desember 2020. “Everest adalah simbol abadi persahabatan Nepal dan Cina,” kata Pradeep, seolah mengakhiri perseteruan kedua negara soal gunung ini. 

Gunung Everest berada di tiga negara: India, Cina, dan Nepal. Pendakian dari Cina tertutup untuk umum. Para pendaki umumnya naik dari Nepal atau India di selatan. Karena itu Everest memiliki nama berbeda-beda.

Orang Nepal menamainya Sagarmatha (Dahi Langit), orang India menyebutnya Deodungha (Gunung Suci), dan penduduk Tibet menamainya Chomonglungma (Tuhan Ibu), sementara dalam Bahasa Cina disebut Zhumulangma.

Nama internasional mengacu kepada Sir George Everest, surveyor jenderal Inggris di India pada 1840, yang tak pernah mendaki ke puncaknya. Memakai rumus trigonometri dengan sudut piramida gunung dan menariknya ke garis permukaan laut, Everest menetapkan gunung ini setinggi 8.839 meter atau 29.000 kaki.

Ukuran resmi yang dipakai, setelah banyak ahli mengukurnya, adalah 29.029 atau 8.848 meter. Namun, menurut Live Science, 0,29 kaki di belakang koma itu hanya pemanis belaka agar “perhitungan ketinggian Everest terlihat lebih meyakinkan”.

Perhitungan tinggi Everest dilakukan banyak ahli sejak 1954, tahun resmi tinggi Everest 8.848 meter. Terutama karena Everest bertambah tinggi 1 sentimeter per tahun akibat tumbukan lempeng India dan Asia, juga karena gempa bumi. Gempa 7,8 magnitudo pada 2015 menewaskan setidaknya 9.000 orang.

Hingga 2019, setidaknya 3.000 orang telah sampai ke puncak Everest sejak Sir Edmund Hillary, pendaki Selandia Baru, memulainya pada 29 Mei 1953 bersama sherpa Tenzing Norgay.

Pendaki yang tak profesional datang ke Himalaya hanya sampai Everest Base Camp di ketinggian 5.364 meter, dengan berjalan selama tujuh hari dari Lukla, desa terakhir yang bisa dijangkau transportasi. Lewat dari ketinggian itu, pendaki mesti mendapatkan izin pemerintah Nepal.

Selama masa pandemi virus corona, Everest ditutup dari pendakian. Pemerintah Nepal memanfaatkannya dengan mengirim tim survei ke puncaknya untuk mengukur ulang ketinggian gunung tersebut, terutama setelah ada kesepakatan ketika Presiden Cina Xi Jinping berkunjung ke Nepal tahun lalu. Ukuran baru 8.848,86 adalah diplomasi kedua negara yang merasa memiliki puncak tertinggi di planet bumi ini.

Selain Siberia di kutub utara, Everest juga jadi indikator perubahan iklim. Kenaikan suhu akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah memicu penghangatan di pegunungan Himalaya. Ribuan danau gletser mencair akibat suhu naik 0,09-0,120C per tahun. Para sherpa bersaksi hamparan gletser makin berkurang dan suhu menghangat di Everest Base Camp (lihat laporan dan liputannya di sini).

Kedatangan para pendaki dari seluruh dunia 500 orang per hari, membuat suhu Everest kian menghangat. Jika satu orang pendaki menghasilkan 1,9 ton karbon selama naik dan turun dari Everest Base Camp melalui Lukla, ada 950 ton karbon sehari yang beredar di Himalaya. Emisi sebanyak itu setara memakai listrik untuk menyalakan televisi selama 38 tahun. 

Belum lagi problem sampah yang dibawa para pendaki. Petani di sekitar Himalaya mengeluhkan kekurangan air untuk pertanian dan perkebunan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain