Pojok Restorasi| 22 Desember 2020
Restorasi Ekosistem dalam UU Cipta Kerja
PEMERINTAH tengah menyusun pelbagai rancangan peraturan untuk menerjemahkan pasal-pasal dalam Undang-Undang 11/2020 tentang cipta kerja. Bidang lingkungan terdiri dari bidang kehutanan dan lingkungan dalam dua peraturan terpisah.
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) bidang kehutanan mencakup 10 tema: perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, perhutanan sosial, perlindungan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, penatausahaan hasil hutan, pengawasan, dan sanksi administratif.
Menurut Hariadi Kartodihardjo, profesor kebijakan kehutanan IPB University, rancangan peraturan bidang kehutanan memberikan setidaknya 13 peluang korupsi jika diberlakukan. Selain tak bisa beranjak jauh dari pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, RPP Kehutanan tak memperbaiki tata kelola hutan yang memberikan celah penyelewengan melalui kebijakan.
Celah-celah itu terutama karena hutan menjadi komoditas ekonomi dalam menopang pembangunan. Juga, pemanfaatan hutan tak semata di hutan produksi, melainkan juga di hutan lindung hingga hutan konservasi. Titik tolak pemanfaatan hutan dalam aturan itu adalah kemudahan berusaha, bagi bisnis apa pun yang memanfaatkan tegakan di atas maupun di bawah tanah serta kandungan-kandungannya.
Di tengah isu pemanasan global dan krisis iklim, perlindungan hutan melalui pemanfaatannya yang lestari menjadi satu pilar terpenting. Bukan saja karena sektor kehutanan melepaskan dan menyerap emisi paling besar dalam janji penurunan emisi Indonesia dibanding empat sektor lain, sektor kehutanan Indonesia paling rentan tereksploitasi di tengah deru pembangunan yang membutuhkan lahan.
Peta jalan pengelolaan hutan Indonesia belum bertolak dari perlindungan lingkungan untuk menghasilkan ekonomi. Padahal, isu pemanasan global telah turut mengangkat jalan baru manajemen hutan lestari dengan memanfaatkan jasa lingkungan, yakni mengelola hasil hutan bukan kayu di semua jenis hutan.
Salah satu jenis pemanfaatan hutan dalam jasa lingkungan adalah usaha penyerapan karbon. Jenis usaha ini ditempatkan paling akhir setelah pemanfaatan aliran air, ekowisata, perlindungan keanekaragaman hayati, pemulihan hutan. Padahal usaha penyerapan emisi memayungi jenis-jenis usaha di atasnya karena penjualan karbon memerlukan kepastian perlindungan hutan.
Dalam izin pemanfaatan hutan, usaha perlindungan hutan produksi masuk dalam usaha restorasi ekosistem. Kendati HPH dan HTI juga bisa menjual karbon, usaha restorasi paling jelas kedudukannya dalam usaha jasa lingkungan, karena pemegang izin usaha jenis ini mesti merawat hutan agar bisa menjual jasa perlindungan itu melalui skema pasar karbon.
Di tengah upaya mitigasi krisis iklim, penjualan karbon memiliki pangsa pasar sendiri ketika pertumbuhan ekonomi masih mengandalkan sektor industri yang memerlukan bahan bakar. Sepanjang bahan bakar masih memakai energi fosil yang tak terbarukan, pasar karbon akan naik pamornya karena diperlukan untuk menyerap emisi hasil pembakaran yang terbuang itu.
Dalam RPP Kehutanan, usaha penyerapan karbon di hutan lindung dan hutan produksi diatur dalam pasal 25 dan 33. Pada pasal 33 ayat 2 ada penjelasan bahwa usaha jasa lingkungan ini tak diberikan limitasi. Artinya, usaha jasa lingkungan tak hanya perdagangan karbon, tapi pelbagai jenis usaha lain sepanjang tak merusak keseimbangan hayatinya.
Izin usaha restorasi selama 60 tahun, bertujuan menyeimbangkan keragaman hayati di sebuah kawasan hutan. Karena itu izin restorasi diberikan kepada wilayah hutan yang telah rusak. Setelah kejayaan HPH surut pada 1998, hutan Indonesia yang tak lagi berhutan akibat penebangan pohon dan perambahan mencapai 34 juta hektare. Sementara usaha jasa restorasi yang hendak memulihkannya baru 600.000 hektare setelah satu dekade.
Menurut Hariadi, usaha restorasi merupakan kebijakan afirmasi sekaligus inovasi mencegah deforestasi yang tak memiliki dasar hukum karena Undang-Undang Kehutanan cenderung memanfaatkan kayu sebagai hasil hutan. Karena itu izin restorasi pun masih menyertakan “kayu” dalam namanya: izin pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) mengingat nama resminya adalah jeda tebang.
Ada 16 usaha restorasi yang memiliki izin, namun hanya empat yang fokus usahanya penyerapan karbon. Sempat hendak diatur dalam kebijakan multiusaha, izin restorasi penjualan karbon belum memiliki aturan karena Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon masih dibahas.
Dengan luas hutannya mencapai 125 juta hektare dan hutan rusak 34 juta hektare, Indonesia memiliki peluang besar dalam usaha jasa penyerapan karbon. Dari pengalaman Katingan-Mentaya Project, dengan 157.000 hektare, penyerapan karbonnya bisa mencapai 5 juta ton setara CO2 setahun. Sekarang harga karbon Indonesia antara US$ 5-6 per ton. Usaha restorasi paling cocok dalam menumbuhkan ekonomi seraya melindungi lingkungan dan sesuai dengan tekad pemerintah Indonesia menurunkan emisi 41% atau 1,1 Giga ton pada 2030.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :