Kabar Baru| 24 Desember 2020
Pohon Natal dan Pemanasan Global
MERAYAKAN Natal dengan menghias pohon cemara menjadi tradisi yang sudah berlangsung empat abad. Dibawa oleh orang Jerman ke seantero dunia pada abad 16, pohon cemara seolah menjadi benda tak terpisahkan dalam setiap perayaan hari kelahiran Yesus Kristus itu. Meski ada pro-kontra di kalangan umat Kristen sendiri karena menghias cemara dianggap budaya pagan, pohon ini telah menjadi bagian dari tradisi Nasrani.
Di tengah isu pemanasan global, pemakaian pohon cemara untuk merayakan Natal menjadi isu lingkungan yang hangat diperbincangkan setiap menjelang 25 Desember. Selain sudah jadi bisnis yang menjanjikan—sebuah perusahaan budidaya di Kanada memanen 9 juta pohon Natal per tahun—ia juga berdampak pada lingkungan.
Pohon yang ditebang pasti punya pengaruh negatif pada alam. Menurut para ahli serangga, satu pohon Natal menjadi rumah bagi 25.000 jenis serangga tak kasat mata. Mereka memilih cemara karena selalu hijau ketika pohon lain melapuk di musim dingin untuk berhibernasi sampai musim semi tiba.
Karena itu ketika pohon cemara ditebang untuk dipajang di ruang keluarga, serangga dan insekta itu juga terangkut. Mereka akan terbangun ketika mendapati pohon menjadi hangat dan ramai di sekelilingnya serta kemungkinan menyangka musim semi telah tiba. Apalagi, jika setelah Natal, pohon itu dikubur atau dibakar sebagai sampah: keragaman hayati serangga akan musnah. Kata ahli biologi E.O Wilson, serangga adalah denyut jantungnya bumi.
Belum lagi karbon yang menguap akibat pohonnya mati. Menurut The Carbon Trust, satu pohon cemara bisa menyerap 3,5 kilogram CO2 setahun. Ellipsos, lembaga konsultan di Montreal, Kanada, menghitung lebih sedikit: hanya 3,1 kilogram CO2 setahun.
Maka jika kini ada 2,8 miliar umat Kristen di seluruh dunia, dan separuh keluarganya (dengan asumsi dua anak) merayakan Natal dengan pohon cemara, ada 350 juta ton CO2 yang menguap ke atmosfer setiap 25 Desember. Angka ini hampir menyamai produksi emisi Indonesia dalam empat bulan atau sepuluh kali lipat dari usaha mencegah kebakaran Indonesia pada 2016-2017.
Maka, mana yang lebih ramah lingkungan? Haruskah memakai pohon Natal plastik?
Pilihan ini pun memiliki imbas lingkungan yang serius. Dalam perhitungan Ellipsos, satu pohon Natal plastik diproduksi, diangkut, dan didistribusikan dengan memakan 48,9 kilogram CO2. The Carbon Trust menghitung hanya 40 kilogram CO2 untuk pohon Natal tiruan setinggi 2 meter.
Sumber emisi itu berasal dari energi saat pembuatan, bahan baku, dan pengangkutannya dari pabrik ke toko dan rumah. Artinya, pohon plastik jauh lebih tidak ramah lingkungan. Kecuali, menurut Ellipsos, ia dipakai selama 20 tahun agar emisi yang terbuangnya setara pohon hidup dan kemudian didaur ulang menjadi produk lain.
Memakai metode dan perhitungan yang rumit, Ellipsos sampai pada kesimpulan bahwa pemakaian pohon Natal—baik memakai pohon hidup maupun pohon plastik—sama tak ramahnya terhadap lingkungan. Selain menghasilkan emisi, keduanya juga berdampak pada kesehatan manusia dan kualitas ekosistem.
Untuk itu, Ellipsos menyarankan beberapa hal dalam pemakaian pohon Natal agar dampaknya tak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Untuk pohon plastik, mesti dipakai selama 20 tahun tanpa membeli yang baru, dan pohon hidup mesti ditanam dalam pot agar ia juga tetap hidup dan tumbuh besar sehingga turut berperan dalam menyerap emisi.
Emisi adalah tantangan terbesar manusia hari ini. Ia hasil dari produksi dan aktivitas kita dalam memenuhi kebutuhan dan kesenangan. Emisi akan terpompa ke udara dan mengendap di atmosfer yang membuat selubung bumi itu tak lagi bisa menyerap panas matahari dan panas tubuh kita serta panas hasil produksi industri.
Jumlah manusia yang bertambah membuat kita memerlukan lahan untuk tempat tinggal sehingga pohon untuk menyerap pantulan panas itu menjadi berkurang. Penggundulan hutan yang direncanakan—terutama untuk perkebunan dan peternakan—paling berdampak terhadap kenaikan suhu bumi.
Dalam 800.000 tahun, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil 280 part per million. Hanya dalam dua abad, setelah Revolusi Industri 1800, jumlahnya melonjak menjadi 414,3 ppm akibat tertubruk gas rumah kaca sebanyak 420 Gigat ton. Suhu planet bumi akan bertambah panas 20 Celsius jika konsentrasi gas rumah kaca itu tembus 500 ppm.
Jika kita tak mengubah gaya hidup dalam memproduksi emisi, angka itu akan tercapai dalam lima tahun mendatang, paling lambat 2040—meleset 5 tahun dari yang diperkirakan para ahli dan direncanakan para pemimpin negara di depan Pertemuan Iklim PBB di Paris pada 2015.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :