Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 27 Desember 2020

Catatan Akhir Tahun 2020: “Super Year for Biodiversity”

Pandemi covid-19 membuat tahun 2020 gagal menjadi tahun super keragaman hayati, super year for biodiversity. Tapi pandemi mengajarkan satu hal yang lebih super dan penting dalam melihat kembali hubungan manusia dan alam.

Burung Chickadee di jalur hiking hutan kota Ottawa, Kanada (Foto: Wiene Andriyana)

SEPEKAN menjelang akhir tahun 2019, saya terdampar di Washington, D.C. Saya hadir dalam pertemuan Dewan Global Environment Facility (GEF), sumber pendanaan internasional terbesar untuk konservasi di bawah skema Convention on Biological Diversity (CBD). Saya terkesan oleh antusiasme semua peserta menyambut 2020, yang mereka sebut akan menjadi “super year for biodiversity.

Para peserta sepakat bahwa tahun 2020 menjadi tahun yang menentukan bagi kemajuan konservasi keragaman hayati secara global. Sebab, tahun 2020 menandai berakhirnya UN Decade on Biodiversity, yang berfokus pada upaya menghentikan hilangnya keragaman hayati.

Konstruksi Kayu

Sejumlah negosiasi dan pertemuan penting terkait kesepakatan keragaman hayati global telah dijadwalkan sepanjang 2020. Tahun 2020 juga menjadi tenggat bagi sejumlah negara untuk mencapai 20 Aichi Biodiversity Targets, komitmen global terkait keragaman hayati di bawah CBD. Pandemi covid-19 membuyarkan rencana “super year for biodiversity” dalam mencari pola-pola baru kemajuan konservasi.

Pelbagai pertemuan kunci membahas konservasi ditunda dan dialihkan menjadi virtual. Pada 30 September 2020, sejumlah kepala negara bertemu virtual dalam Konferensi Tingkat Tinggi Keragaman Hayati. Tentu saja negosiasi dan kesepakatan lebih sulit ketimbang bertemu langsung. Ini pertemuan penting karena menyoroti kegagalan global mencapai 20 target Aichi. Menurut laporan Global Biodiversity Outlook (GBO-5) tidak satu pun target Aichi tercapai sepenuhnya. Hanya enam yang tercapai sebagian.

Di lapangan, pandemi menghalangi pekerjaan konservasi yang membutuhkan pengawasan. Pandemi yang merenggut ekonomi dan pekerjaan membuat tekanan kepada kawasan lindung bertambah dengan naiknya perburuan, penambangan, dan pembalakan liar. Di hutan Amazon kerusakan hutan naik hingga 55% pada kuartal pertama 2020 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Berbagai penelitian keragaman hayati juga turut terhambat.  

Di luar semua itu, pandemi membuat hubungan manusia dan alam juga berubah. Pandemi memaksa manusia menarik diri dari hiruk-pikuk rutinitas normal dan membatasi kontak sosial. Pembatasan kegiatan mendorong manusia lebih dekat kepada alam

Di Kanada, kunjungan ke taman dan hutan kota meningkat drastis sepanjang 2020. Selama masa bekerja dari rumah, manusia juga jadi lebih punya waktu mengamati keragaman hayati di alam. Portal inaturalist.ca mencatat ada 15.000 pengamatan dibanding hanya 9.500 rekaman satwa liar di tahun sebelumnya.

Otoritas Kehutanan Islandia mendorong masyarakat pergi ke hutan dan memeluk pohon (“hug tree if you can’t hug human”)—jika memeluk manusia kini bisa menularkan penyakit, memeluk pohon justru menghilangkan penyakit. Energi positif pohon mengurangi stres akibat kebijakan isolasi.

Masyarakat perkotaan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia pun menjadi keranjingan berolahraga di luar ruangan. Ketika menghabiskan waktu di mal sekarang berisiko tertular virus, berkunjung ke taman wisata alam dan taman nasional menjadi pilihan yang lebih bijak dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Bisa jadi tahun 2020 gagal menjadi “super year for biodiversity” dalam bentuk yang dibayangkan pada 2019. Buat saya, 2020 tetap menjadi “super year for biodiversity”. Pandemi membuat kita insaf bahwa manusia harus lebih keras melindungi keragaman hayati. Kemunculan virus memberikan bukti erat hubungan keragaman hayati, masyarakat, dan ekonomi, juga perubahan iklim—yang belum cukup mendapat perhatian publik dan pembuat kebijakan.

Pandemi menunjukkan keterkaitan antara lingkungan hidup dengan kesehatan manusia. Hilangnya keragaman hayati, termasuk karena perusakan habitat satwa liar, terbukti memunculkan ancaman besar bagi kesejahteraan manusia, bahkan dampak global yang luar biasa besar.

Tahun 2020 menjadi tahun yang inovatif bagi para pegiat konservasi keragaman hayati. Tahun 2020 juga menjadi tahun ketika manusia mendapatkan kesempatan untuk menengok kembali ke alam, reconnect, mendekatkan diri dan mencari bentuk keharmonisan baru dengan alam beserta keragamannya. Solusi berbasis alam untuk pembangunan mendapatkan momentum di tahun 2020.

Dengan jalan yang tak terduga-duga itu, kita bisa menatap 2021 dengan lebih optimistis: belajar kepada pandemi bahwa keseimbangan alam sangat penting bagi masa depan planet ini, masa depan manusia. 2021 tak hanya tahun restorasi, dengan menghentikan kehilangan sumber daya alam, tapi memulihkannya agar kita tak menemui pandemi yang lebih ganas di masa depan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain