Kabar Baru| 05 Januari 2021
Bumi Makin Hijau: Baik atau Buruk?
SATELIT National Aeronautics and Space Administration’s (NASA) Amerika Serikat melaporkan bahwa bumi makin hijau. Tutupan daun di planet ini bertambah 5% selama dua dekade terakhir, 1998-2018, seperti hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Sustainability. Di tengah isu pemanasan global, baikkah kabar ini?
Bumi tengah berada dalam ancaman serius pemanasan global. Para ahli telah sepakat bahwa salah satu cara menekan suhu tak melebihi 1,50 Celsius dibandingkan masa praindustri tahun 1800-1850 adalah menanam sebanyak mungkin pohon. Sebab, pohon akan menyerap emisi yang dilepas dari pembakaran dan aktivitas ekonomi di bumi.
Suhu bumi naik dipicu oleh meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Ada enam jenis gas rumah kaca yang membuat atmosfer kita makin kebas dan tak sanggup lagi menyerap panas matahari, juga panas dari bumi. Karena itu untuk menyerap panas tersebut bumi membutuhkan lebih banyak pohon.
Kendati pengaruhnya terhadap kenaikan suhu paling kecil, jumlah karbon dioksida di atmosfer paling banyak. Perbandingan CO2 dengan SF6 atau sulfur heksaflurida sebanyak 23.900. Artinya, tiap 1 ton SF6—yang dihasilkan oleh pabrik semen—sama dengan 23.900 ton CO2 dalam mempengaruhi suhu bumi (tiga gas rumah kaca lain klik tautan ini).
Jumlah CO2 di atmosfer kini sebanyak 414,13 part per million. Artinya, dalam satu 1 juta molekul udara terdapat 414,13 karbon dioksida. Karena paling banyak, menanam pohon adalah solusi untuk menyerapnya. Sebab pohon adalah mahluk hidup terbaik dalam menyerap CO2.
Bagi pohon, karbon dioksida adalah makanan untuk menyempurnakan proses kimia yang dihasilkan dalam reaksi kompleks dari akar hingga ujung daun. Melalui fotosintesis, pohon menghasilkan oksigen, gula dalam tanaman, dan zat-zat lain yang dibutuhkan bumi dan mahluk hidup yang mengisinya sebagai sumber pangan dan obat-obatan.
Maka berita NASA, dalam sudut pandang ini, menjadi berita menggembirakan. Bumi akan terhindar dari pemanasan global karena emisi yang terpompa ke udara, lalu memantul kembali ke bumi, akan terserap oleh pepohonan. Suhu bumi akan bisa ditekan untuk mencegah pemanasan secara global.
Masalahnya, tepat di sana, pohon akan berbiak makin lebat jika mereka mendapatkan asupan CO2 yang banyak. Karena itu, semakin besar jumlah CO2 yang dipantulkan ke bumi akan makin banyak jumlah pohon yang bisa tumbuh. Laporan NASA itu mengkonfirmasi dua hal sekaligus: bumi makin hijau pertanda ancaman pemanasan global makin serius.
Apalagi laporan detail NASA mengkonfirmasi bahwa bagian bumi yang menghijau itu terutama di India dan Cina. Dua negara itu memiliki program pertanian intensif dalam satu dekade terakhir. Bumi yang hijau, menurut pantauan satelit itu, berasal dari makin masifnya luas pertanian di dua negara tersebut. Satelit NASA memantau hingga 500 meter dari permukaan tanah dan mendeteksi bagian bumi yang tertutup hijau daun setiap hari selama 20 tahun terakhir.
Menurut tim analisis temuan tersebut, dari Departemen Lingkungan dan Bumi Universitas Boston, sepertiga penghijauan bumi berasal dari Cina, yang menyumbang 9% tutupan vegetasi terhadap daratan planet ini seluas 150,1 juta kilometer persegi. Kontribusi Cina terhadap tren penghijauan sebanyak 42% dan India 32%. Luas lahan yang dipakai untuk bercocok tanam di India dan Cina seluas 199,43 juta hektare—sepersepuluh luas daratan Indonesia.
Para peneliti di Boston menyambut baik “temuan mengejutkan” ini. Menurut mereka, kesadaran Cina dan India akan dampak buruk produksi emisi melalui industri telah menumbuhkan kesadaran perlunya penghijauan di lahan-lahan mereka.
Para peneliti lain kurang setuju dengan kesimpulan ini. Apalagi jika penghijauan dikaitkan dengan siklus kompleks pemanasan global. Meningkatnya penghijauan tak serta merta membuat ancaman krisis iklim menjadi berkurang.
Sebab, seluruh pohon yang sudah ditanam hingga 2017—sebanyak 3,04 triliun—hanya menyerap 25% emisi. Sebanyak 30% lagi diserap oleh laut dan sisanya oleh tanah serta unsur-unsur lain di bumi.
Pada laut, meningkatnya jumlah emisi yang menerpanya akan membuat reaksi kimia CO2 dan H2O yang menghasilkan asam karbonat H2CO3. Ini asam lemah yang menaikkan pH air. Akibat terlalu banyak asam karbonat, karang menjadi putih dan mati. Kematian terumbu karang akan pelan-pelan mematikan kehidupan satwa liar yang menjadikannya rumah tinggal, sumber pangan, dan berkembang biak.
Kematian terumbu karang juga dihubungkan dengan naiknya kerentanan hewan laut yang bisa menyebarkan virus. Pandemi flu Spanyol, flu Hong Kong, dan flu SARS yang melanda dunia dalam 100 tahun terakhir dipicu oleh naiknya suhu permukaan laut. Kenaikan suhu laut membuat tiram mati dan sakit yang menulari burung yang memakannya, lalu menyebarkan virus tersebut ke seluruh dunia.
Maka menghubungkan penghijauan dengan menurunnya ancaman pemanasan global merupakan kesimpulan yang terlalu dini. Buktinya, satelit NASA dan lima satelit lain di bumi merekam suhu bumi naik 1,20 Celsius pada 2020—tahun terpanas sepanjang sejarah.
Kenaikan suhu dipicu oleh naiknya gas rumah kaca di atmosfer menjadi 414,13 ppm—bandingkan dengan tahun 1850 sebesar 280 ppm. Komposisi ini berubah sejak kemunculan manusia modern di Afrika 100.000 tahun lalu yang menyebar ke seluruh dunia selama 60.000 tahun. Konsentrasi CO2 di atmosfer, menurut para ahli, stabil 280 ppm selama 10.000 tahun lalu naik signifikan begitu manusia menemukan mesin uap pada 1750.
Mengapa penghijauan tak cukup mendinginkan bumi? Keragaman penyerapan emisi memerlukan siklus alamiah bumi, yakni kebutuhan akan keragaman hayati. Naiknya penghijauan pertanian membuat penyerapan karbon menjadi banyak. Tapi, penyerapan oleh tanaman pertanian hanya berlangsung sesaat karena tanaman itu, yang tak memiliki struktur biologi yang kompleks dibanding pohon, segera melepaskannya kembali ke atmosfer.
Penelitian di Chile mengkonfirmasi kesimpulan ini. Di Chile, yang menanam lebih banyak pohon tanaman, jumlah emisi yang diserapnya lebih sedikit ketimbang hutan alam tropis lain. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanaman monokultur dalam menyerap karbon. Semakin seragam pohon dalam satu petak semakin sedikit penyerapannya. Karena makin seragam jenis pohon akan makin tinggi persaingan mereka menyerap karbon.
Maka, cara terbaik mencegah suhu bumi memanas adalah memecahkan masalah pokoknya, yakni mengurangi lontaran emisi ke atmosfer bumi. Selama ini rata-rata 9-11 miliar ton emisi dilepas ke atmosfer setiap tahun—tahun 2018 mencapai 55,3 miliar ton. Sejak Revolusi Industri diperkirakan jumlah emisi telah dipompa ke udara sebanyak 420 miliar ton setara CO2.
Pemicu utama produksi emisi adalah pembakaran energi fosil dan penggundulan hutan alam. Tanpa mencegah dua hal ini, emisi akan semakin banyak di atmosfer. Tak lagi memakai energi fosil dan terus mengonversi hutan alam adalah cara terbaik mencegah suhu bumi memanas 1,50 Celsius—puncak pemanasan global yang ditandai dengan pelbagai bencana yang tak bisa tertanggungkan oleh mahluk hidup penghuni bumi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :