UNDANG-Undang Cipta Kerja Nomor 11/2020 mewajibkan pemerintah membuat peraturan untuk menerjemahkan pasal-pasal agar bisa beroperasi. Salah satunya bidang kehutanan atau RPP Kehutanan.
Ada delapan pasal UU Cipta Kerja yang butuh peraturan pemerintah. Pasal 15 ayat (5) tentang prioritas pengukuhan kawasan hutan, pasal 18 ayat (3) tentang luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional, pasal 19 ayat (2) tentang tata cara perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan, pasal 29B tentang perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial.
Pasal lain adalah pasal 31 ayat (2) tentang pembatasan perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan, pasal 33 ayat (3) tentang pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan, pasal 35 pasal (5) tentang pungutan PNBP di bidang kehutanan, pasal 48 ayat (6) tentang pelindungan hutan, dan pasal 80 ayat (3) tentang tata cara ganti rugi bagi setiap perbuatan melanggar hukum dan tata cara pengenaan sanksi administratif bagi setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana.
Salah satu yang menarik dicermati dalam RPP Kehutanan adalah bab tentang perhutanan sosial. Tampaknya bab itu hanya mengompilasi dan membolak-balik pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/2016, tanpa perubahan yang cukup mendasar.
RPP Kehutanan bagian perhutanan sosial terdapat pada Bab IV tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang terdiri dari 43 pasal (mulai dari pasal 10 sampai dengan pasal 53). Ada tujuh pasal yang harus ditindaklanjuti oleh ketentuan regulasi lain. Satu pasal yang akan diatur lagi dalam peraturan pemerintah dan enam pasal diatur dan ditindaklanjuti oleh ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup.
Pasal-pasal tersebut adalah pasal 27 ayat (2) tentang hutan kemasyarakatan dalam hutan konservasi diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal-pasal yang ketentuannya akan diatur lagi oleh Peraturan Menteri adalah pasal 19 tentang tata cara penetapan PIAPS (peta indikatif areal perhutanan sosial), pemberian akses legal pengelolaan perhutanan sosial dalam kawasan hutan, pengembangan pola agroforestri, pembagian zonasi atau blok, pengembangan usaha, pendampingan, pembinaan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian, sanksi administrasi, pengenaan PNBP, mekanisme kerja sama pemanfaatan aset perum Perhutani dan jangka benah, serta pemanfaatan perhutanan sosial.
Sementara pasal 26 tentang hutan desa, pasal 33 tentang hutan kemasyarakatan, pasal 40 ayat (3) tentang tata cara penetapan status hutan adat, pasal 51 tentang hutan tanaman rakyat, dan pasal 52 ayat (4) tentang kemitraan kehutanan.
Jika melihat pasal-pasal tentang perhutanan sosial, ada lima hal yang mesti kita lihat:
Pertama, secara regulasi RPP ini meski telah disahkan belum bisa diimplementasikan karena menunggu ketentuan lain yang belum disebut secara tersurat karena akan ditampung dalam peraturan menteri yang belum kita tahu penerbitannya.
Dari lima kegiatan perhutanan sosial yang disebut dalam RPP pasal 11—hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (Hkm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA) dan kemitraan kehutanan (KK)—membutuhkan masing-masing ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam peraturan menteri.
Meskipun RPP ini menghapus pasal tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam PP. 7/2006 yang berisi tentang tiga kegiatan perhutanan sosial (HD, HKm dan KK), pengantar RPP ini tidak menyebutkan pemberlakuan Peraturan Menteri LHK Nomor 83/2016 tentang perhutanan sosial yang selama ini telah menjadi pedoman/acuan.
Kedua, di pasal 29A ayat (2) UU Cipta Kerja ditegaskan bahwa perhutanan sosial dapat diberikan kepada perorangan, kelompok tani hutan dan koperasi. Dalam penjelasan UU Cipta Kerja maupun RPP ini tidak dijelaskan apa dan siapa yang dimaksud dengan perorangan dalam perhutanan sosial. Sebab, skema lima kegiatan perhutanan sosial harus melibatkan kelompok, baik sebagai kelompok tani hutan maupun petani non-hutan.
Ketiga, meski pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional, dan dipertegas dalam RPP pasal 27 ayat (1a), sudah dapat ditebak kegiatan hutan kemasyarakatan dalam hutan konservasi adalah jalan keluar bagi masyarakat yang telah lama berkebun di dalam kawasan hutan konservasi.
Lagi-lagi, pasal ini masih menggantung dan jalannya masih panjang karena harus diatur khusus dalam peraturan pemerintah tersendiri dan diturunkan dalam peraturan menteri. Dalam konteks ini seolah olah pemerintah mengulur waktu mencari jawaban yang tetap dan mengurangi risiko sekecil kecilnya yang akan timbul akibat pemberian persetujuan kegiatan hutan kemasyarakatan dalam hutan konservasi.
Keempat, RPP ini menegaskan kembali lima kegiatan perhutanan sosial dalam satu kesatuan kegiatan utuh, yang tidak hanya sekadar dicantumkan dalam regulasi di bawahnya seperti Peraturan Menteri Lingkungan Nomor 83/2016 atau disebut secara parsial tiga kegiatan: hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan kehutanan. seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7/2006.
Yang menjadi pertanyaan adalah perbedaan antara hak pengelolaan bagi hutan desa dan persetujuan izin pengelolaan bagi hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Padahal kewajiban membayar PNBP sama terhadap empat kegiatan perhutanan sosial lain, kecuali hutan adat.
Kelima, dalam pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa hutan adat dapat berasal dari hutan negara dan atau bukan negara. Pasal ini tidak sinkron atau selaras dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara.
Meski begitu RPP perhutanan sosial ini sudah mengalami banyak kemajuan dalam hal pengukuhan masyarakat hukum adat dalam kawasan hutan negara. Kendati pengakuannya tetap melalui jalur peraturan daerah yang disahkan bersama DPRD setempat, ada dua pilihan pengukuhan masyarakat adat, seperti diatur pasal 35 ayat (3), yaitu melalui peraturan daerah yang memuat substansi pengaturan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat atau peraturan daerah yang memuat substansi penetapan pengukuhan, pengakuan, dan pelindungan masyarakat hukum adat.
Peraturan daerah pun hanya memuat substansi pengaturan, pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat yang ditetapkan dengan keputusan gubernur dan atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya. Pemerintah pun bisa memfasilitasi pendanaan dan pendampingan dalam rangka pengukuhan keberadaan masyarakat adat.
Keenam, kegiatan kemitraan kehutanan diberikan pada kawasan hutan yang telah dibebani hak pengelolaan atau perizinan berusaha pemanfaatan hutan. Khusus untuk kemitraan kehutanan pada kawasan hutan konservasi tampaknya lebih logis dan masuk akal dibandingkan dengan kegiatan hutan kemasyarakatan.
Kemitraan kehutanan merupakan jawaban satu-satunya untuk kawasan hutan konservasi seperti taman nasional yang ditetapkan pemerintahan belakangan. Karena itu dalam RPP perlu penegasan secara tersurat tentang kemitraan kehutanan dalam kawasan hutan konservasi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :