Kabar Baru| 07 Januari 2021
Anomali Konflik Agraria
PANDEMI virus corona covid-19 selama 2020 yang mengharuskan pembatasan interaksi sosial dan seruan di rumah saja, tak menghentikan konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun lalu setidaknya ada 241 konflik agraria di pelbagai sektor di seluruh Indonesia.
Dalam Laporan Akhir Tahun 2020 pada 6 Januari 2021, KPA menyebutnya sebagai anomali karena konflik agraria biasanya terjadi seiring naiknya pertumbuhan ekonomi. “Meskipun krisis dan pembatasan sosial berskala besar, investasi dan kegiatan bisnis berbasis agraria tetap bekerja secara masif dan represif,” tulis Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA dalam laporan itu.
Meski jumlah konflik menurun 14% dibanding 2019 secara keseluruhan, pada periode April-September 2020 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, jumlah konflik naik signifikan. Kenaikan konflik terjadi ketika ekonomi Indonesia memasuki resesi dengan pertumbuhan -4,4%.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, konflik agraria paling banyak berada di sektor perkebunan, yakni 69%, dengan 101 konflik berada di perkebunan sawit. Posisi kedua ditempati sektor kehutanan dengan jumlah konflik terbanyak berada di konsesi hutan tanaman industri, 34 kasus.
Pembangunan infrastruktur juga terekam meletuskan banyak konflik, terutama yang berkaitan dengan proyek strategis nasional. Presiden Jokowi sudah menetapkan 201 proyek strategis untuk tahun 2020-2024. Jenis proyek strategis ini menyesuaikan dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja yang condong pada industri ekstraktif dan infrastruktur demi menggenjot ekonomi.
Proyek-proyek tersebut membutuhkan lahan. Sehingga konflik rebutan dan sengketa agraria menjadi tak terhindarkan. Pengertian agraria mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria bahwa agraria sebagai “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Dari jumlah konflik yang meletus sepanjang 2020, KPA mencatat setidaknya 134 kasus kriminalisasi dengan 132 korban laki-laki dan 2 perempuan. Ada juga 19 kali kasus penganiayaan yang menimpa 15 laki-laki dan 4 perempuan. Yang mengerikan, 11 orang tewas di wilayah konflik agraria.
Dengan tambahan 241 kasus pada 2020, jumlah konflik agraria selama lima tahun sejak 2015 mencapai 2.288 kasus. Menurut Dewi Kartika, semua jenis konflik yang berkaitan dengan agraria bersifat struktural. Artinya, konflik antara negara dan masyarakat, dan perusahaan dengan masyarakat, terjadi di lahan-lahan yang sudah turun-temurun dikelola penduduk.
Ketiadaan akses masyarakat terhadap pengakuan yang legal dalam mengelola lahan membuat mereka tersingkirkan karena berhadapan dengan pemilik izin mengelola lahan yang dilegalisasikan oleh pemerintah. Sementara konflik di atas lahan hak milik, menurut catatan KPA, juga tak kurang banyak dan acap merugikan penduduk mengingat penyelesaiannya langsung merujuk pada ganti-rugi dengan harga yang rendah, bukan tanah pengganti hingga penyertaan modal seperti diwajibkan dalam UU Nomor 2/2012.
Bagi masyarakat, lahan adalah sumber hidup mereka. Di masa pandemi, ketika transaksi ekonomi menjadi seret, keberadaan lahan menjadi sumber utama ketahanan pangan keluarga. Banyak anjuran agar berkebun di rumah dengan memanfaatkan halaman ketika berbelanja ke toko bukan pilihan yang arif karena menciptakan pertemuan dan kerumunan yang berpeluang meluaskan jangkauan virus corona.
Laporan KPA soal konflik agraria ini menjadi ironi dalam menguatkan ketahanan pangan, justru ketika pemerintah hendak membangun lumbung pangan besar dalam proyek strategis nasional. Dalam Peraturan Presiden 109/2020 yang memuat daftar proyek strategis nasional, perhutanan sosial dan program tanah untuk reforma agraria yang menjadi jalan keluar konflik lahan malah dihapus.
Karena itu, dalam resolusinya, Dewi Kartika menyerukan agar ada reformasi struktural untuk menghentikan konflik agraria yang berlangsung sepanjang tahun. Salah satunya melalui reforma agraria. Menurut Dewi, reforma agraria adalah tata ulang struktur kepemilikan tanah dan distribusi kembali lahan kepada petani dan masyarakat miskin yang tengah menghadapi konflik. “Tidak dikerdilkan hanya pada pembagian sertifikat tanah,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :