JIKA tak ada aral, dan pandemi virus corona covid-19 melandai, pertemuan para pihak (COP 26) membicarakan mitigasi krisis iklim akan digelar pada 1-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia. Pandemi virus corona memaksa pemerintah Inggris yang jadi tuan rumah menunda konferensi tahunan ini yang seharusnya digelar pada 9-19 November 2020.
Indonesia turut dalam euforia itu. Dalam diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 6 Januari 2021 yang bertema “Menuju COP 26 Glasgow”, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengatakan Indonesia bisa mewujudkan adaptasi dan mitigasi krisis iklim dengan membuat kebijakan yang didorong program.
Menurut Sarwono, dengan program, pemerintah akan mengampanyekannya kepada publik. Setelah itu membuat regulasi. Sebab, kata dia, ketahanan iklim harus dimulai dari tingkat lokal. Dengan ketahanan iklim, regulasi dan program itu juga akan mendukung ketahanan pangan, energi, dan air di masyarakat.
Secara implisit, Sarwono agaknya ingin menekankan kembali bahwa mitigasi krisis iklim belum berjalan optimal. Meski ada banyak kegiatan yang terwujud, bahkan mendatangkan devisa berupa penghindaran emisi dari degradasi dan deforestasi, mitigasi krisis iklim belum sepenuhnya berjalan. Apalagi, selain mitigasi, tak seperti negara lain, Indonesia juga menerapkan kebijakan adaptasi terhadap dampak pemanasan global.
Dalam COP 25 di Madrid, Spanyol, pada 2-13 Desember 2019, para pejabat pemerintah Indonesia memberikan pernyataan dan janji apa yang akan dilakukan Indonesia terkait mitigasi dan adaptasi krisis iklim.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto mengatakan pemerintah telah membagi 125,2 juta hektare kawasan hutan sesuai fungsinya. Seluas 29,1 juta hektare sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta hektare kawasan hutan lindung, 27,3 juta hektare kawasan konservasi, dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.
Sementara lahan di luar kawasan hutan merupakan areal penggunaan lain (APL) yang luasnya mencapai 67,4 juta hektare. Meski bukan kawasan hutan, 12% atau 7,9 juta hektare lahan tersebut memiliki tutupan hutan. Menurut Sigit hutan ini akan diarahkan dikelola secara lestari. Sebab, pengelolaan lestari hutan di luar kawasan hutan negara bisa mencegah deforestasi dan pelepasan emisi gas rumah kaca.
Sementara Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno memaparkan Indonesia memilik banyak kawasan perlindungan dan konservasi. Total ada 554 unit kawasan dengan luas mencapai 27,14 juta hektare. Pendekatan bentang alam berdampak positif menahan pelepasan emisi gas rumah kaca.
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, gejala krisis iklim sudah terjadi. Salah satunya bisa dilihat dari berubahnya siklik El Nino (kemarau kering) dan La Nina (kemarau basah). “Secara statistik pada 1981-2019 kedua fenomena itu berulang semakin cepat dibandingkan 1950-1980,” kata dia.
Pada 2019, menurut Dwikorita, konsentrasi gas-gas rumah kaca mencapai rekor baru. CO2 sebanyak 405.5 part per million, metana (CH4) 1.859 part per billion dan nitrat monoksida (N2O) mencapai 329.9 ppb. Angka-angka itu menunjukkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melebihi konsentrasi masa praindustri, yakni secara berurutan 146%, 257%, dan 122%.
Salah satu yang dilakukan BMKG adalah memperbaiki pemantauan iklim dari sepuluh harian menjadi 3-4 bulan ke depan. BMKG juga membangun sistem peringatan dini cuaca dan iklim mulai dari prediksi terjadinya banjir, kekeringan, hingga kemungkinan mewabahnya penyakit demam berdarah akibat perubahan iklim.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Alue Dohong menambahkan bahwa ke depan pemerintah akan mengutamakan pengembangan hasil hutan bukan kayu, seperti rotan dan bambu. Menurut Alue, Indonesia penghasil besar dua komoditas ini. Juga penyerap emisi yang bagus. Setiap hektare tanaman bambu mampu menyerap 50 ton emisi setara CO2 per tahun.
Seperti disampaikan Sarwono, ketahanan iklim harus dimulai dari lokal. Salah satu program mitigasi dan adaptasi adalah Program Kampung Iklim (Proklim). Sejak diluncurkan pada 2011, jumlah kampung iklim pada 2017 sebanyak 1.375. Tiga tahun kemudian hanya bertambah menjadi 3.000-an kampung. Padahal Indonesia memiliki 83.447 kelurahan dan desa. Kampung iklim selama 9 tahun baru 3,59%. Sementara ada 7.000 desa yang rentan terdampak krisis iklim.
Ada empat faktor, setidaknya, mengapa kita lamban mencapai target mitigasi dan adaptasi krisis iklim:
Pertama, kampanye yang kurang intensif dan efektif karena bahasa kurang membumi. Banyak istilah susah dipahami awam.
Kedua, regulasi hanya himbauan dan bersifat hanya pilihan dan bukan wajib. Regulasi tentang Kampung Iklim (Proklim) melalui Peraturan Menteri LHK P. 84/2016, misalnya, melalui usul provinsi, kabupaten, kota, sehingga hanya pilihan saja. Tak ada kewajiban bagi pemerintah daerah mendirikan kampung iklim dalam kurun waktu tertentu.
Ketiga, kurangnya sumber daya manusia andal yang menjembatani kebijakan pusat ke tingkat tapak. Sebagai urusan wajib, lingkungan hidup mesti ditopang staf yang paham dari pusat hingga daerah. Kekurangan ini sekaligus peluang menghidupkan kembali penyuluh kehutanan yang mati suri sejak Reformasi 1998. Namanya bisa berganti menjadi Penyuluh Kehutanan dan Lingkungan.
Keempat, dari semua janji pemerintah di COP 25, hanya rehabilitasi mangrove yang terealisasi menjadi 3,56 juta hektare dengan 2,37 juta hektare tergolong baik. Tahun 2020, pemerintah giat merehabilitasi mangrove di 34 provinsi melalui kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM) dan telah menanam mangrove seluas 15.000 ribu hektare dengan anggaran Rp 406,1 miliar. Pemerintah merencanakan akan menanam sampai 600.000 hektare.
PKPM adalah program pemerintah dalam rangka mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) juga merencanakan merehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare selama lima tahun di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Utara dan Papua Barat.
Laju deforestasi dalam kawasan konservasi lebih dari 30% akibat perambahan hutan, pembalakan dan pertambahan ilegal, kebakaran, perkebunan sawit liar yang mencapai 1 juta hektare. Mempertahankan APL 7,9 juta tetap berhutan juga agaknya hanya wacana karena perubahannya kini menjadi kewenangan pemerintah daerah.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :