HUTAN adalah bentang alam keragaman suara. Bagaikan orkestra dengan beragam alat musik, hutan juga menyajikan akustik satwa liar, yang bermanfaat untuk relaksasi. Seperti manusia, satwa juga berkomunikasi.
Telah lama para ilmuwan mempelajari bagaimana binatang mengekspresikan emosi, seperti telaah Charles Darwin dalam The Expressions of the Emotions in Man and Animal yang terbit pada 1872. Suzanne Simard dan Monica Gagliano, melalui Thus Spoke The Plant, menelisik cara pohon dan tumbuhan berkomunikasi lewat sistem rumit transfer karbon di bawah tanah.
Memahami pola komunikasi alam liar, terutama satwa, menjadi pintu masuk bagi kepentingan ekologi dan konservasinya. Di era modern, para pegiat konservasi memakai kamera jebak untuk memahami perilaku satwa dengan menganalisis gambar. Namun, kamera jebak hanya fokus pada binatang besar. Kamera tak bisa menjangkau hewan kecil atau yang bergerak cepat. Padahal, mereka menjadi bagian penting sebuah ekosistem.
Lalu bagaimana cara kita memahami pola interaksi satwa dalam sebuah ekosistem? Beragam studi menunjukkan banyak binatang yang memiliki suara unik, yang bisa dipakai untuk mendeteksi keberadaan mereka, meskipun mereka tidak tampak. Cara ini dikenal dengan pendekatan bioakustik dan ekoakustik.
Bioakustik adalah cabang ilmu yang mempelajari hal-hal terkait produksi suara, transmisi, dan dampaknya pada organisme hidup. Prinsip bioakustik dan ilmu ekologi teraplikasi dalam ekoakustik, ilmu lintas disiplin yang mengeksplorasi hubungan suara alam dan antropogenik, berikut kaitannya dengan lingkungan hidup pada berbagai skala.
Pada prinsipnya, dengan menggabungkan ilmu-ilmu biologi dan akustik, pendekatan ini menggunakan teknologi suara untuk merekam, menyimpan, dan menganalisis data komunikasi binatang dalam jumlah besar.
Pendekatan bioakustik memungkinkan data terekam pada jangkauan kawasan yang luas, dibandingkan dengan kamera jebak. Seperti ditunjukkan dalam jurnal Ecological Indicator, yang membandingkan metode analisis suara dan kamera jebak untuk pemantauan rusa dan primata.
Alat perekam suara bisa terus bekerja pada berbagai cuaca, termasuk hujan dan salju. Bahkan analisis suara bisa dikaitkan dengan kondisi cuaca tersebut.
Dengan berkembangnya teknologi, harga alat perekam suara juga lebih terjangkau. Alat perekam AudioMoth, misalnya, hanya US$ 53 per unit (sekitar Rp 750 ribu) dan US$ 25 untuk pembelian 1.000 unit. Pengoperasiannya bisa dipantau pada komputer dengan aplikasi yang bisa diunduh secara gratis.
Manfaat bioakustik dalam pemantauan ekosistem untuk melacak apa yang disebut dengan defaunation, penurunan populasi binatang yang sulit dideteksi, seperti burung atau monyet. Perburuan juga bisa dipantau dari suara tembakan atau suara manusia yang terekam pada alat tersebut.
Penelitian Applications of Bioacoustics in Animal Ecology yang mengkaji berbagai studi bioakustik menemukan bahwa analisis pola komunikasi satwa liar mengindikasikan adanya ancaman perubahan iklim terhadap jenis-jenis binatang.
Untuk binatang perairan, sumber perubahan adalah pengasaman laut (acidification) dan meningkatnya kebisingan lingkungan karena sebab-sebab antropogenik. Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada perilaku komunikasi dan mencari makan mereka. Untuk hewan di darat, perubahan curah hujan dan suhu mengakibatkan modifikasi suara yang berpengaruh pada sistem auditori.
Pendekatan bioakustik dan ekoakustik menekankan nilai penting sesuatu yang tampaknya sederhana: mendengarkan. Suara alam bisa menjadi indikator evolusi, fungsi dan propertinya di bawah berbagai tekanan lingkungan. Selain menjadi subyek, suara alam juga menjadi alat untuk mempelajari dan memantau keragaman, kelimpahan, tingkah laku, dinamika, dan distribusi binatang, juga hubungannya dengan ekosistem dan lingkungan.
Mendengarkan suara alam melalui prinsip bioakustik dan ekoakustik menyediakan satu lagi pintu masuk bagi manusia untuk memahami pesan-pesan lingkungan, termasuk pesan dan pengingat akan perubahan iklim yang menjadi ancaman serius planet bumi hari ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :