BENCANA dalam dua pekan terakhir yang bertubi-tubi, dari banjir di Kalimantan Selatan hingga gempa dan longsor di Bogor, mengingatkan kembali akan pentingnya hutan sebagai penyokong hidup kita, penopang planet ini. Sebab, salah satu fungsi hutan adalah pengatur fungsi hidrologis tanah, yang merusaknya berarti mengubah siklus hukum alam semesta.
Saya teringat obrolan dengan seorang teman, yang mengaku belum pernah mengunjungi hutan di Indonesia. Katanya, karena letak hutan di Indonesia yang tidak mudah diakses oleh khalayak umum, sulit merasa dekat dengan atau bergantung pada hutan dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan yang membuat saya tercenung. Benar juga. Hidup di perkotaan membuat kehidupan sehari-hari terasa jauh dari urusan hutan.
Soal ‘kedekatan’ manusia dengan hutan dengan mudah terlihat pada mereka yang tinggal di sekitar rimba. Mereka yang harus berjalan ke wilayah berhutan untuk mengumpulkan ranting kayu bakar untuk memasak makanan atau mereka yang harus melakukan patroli pengamanan hutan, memiliki kedekatan dan ketergantungan khusus pada hutan. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di kota? Seberapa jauh mereka tak terkoneksi dengan alam?
Secara fisik, lokasi hutan alam biasanya cukup jauh dan tidak selalu mudah diakses dari perkotaan. Orang Jakarta tentu akan merasa jauh dengan hutan di Kerinci Seblat di Jambi. Namun “dekat dan butuh” juga bisa berarti non-harfiah. Pelbagai bentuk turunan hutan hadir dalam keseharian orang kota.
Hutan identik dengan pohon, dan pohon identik dengan produk berbasis kayu, yang dibutuhkan masyarakat perkotaan. Mulai dari kerangka untuk membuat rumah, lantai kayu, mebel, dekorasi rumah dan perkantoran, sampai ke peralatan makan dan memasak yang digunakan sehari-hari – semuanya membutuhkan kayu.
Juga ada komponen kayu yang tidak terlihat, yaitu selulosa dari serat kayu dan tanaman tertentu untuk stabilisator dan pengental es krim. Hutan juga menyediakan berbagai bahan obat-obatan herbal. Sekitar 80% populasi beberapa negara Asia dan Afrika dan lebih dari 50% populasi di Amerika Utara, Eropa, dan negara industri lainnya memakai tumbuhan dan ekstrak tumbuhan untuk pengobatan.
Minyak oles aroma terapi berasal dari pohon kapur yang diekstraksi dari hutan Sumatera, pohon kayu putih di hutan-hutan Papua dan ekstraksi beragam jenis tanaman lain yang juga berasal dari hutan. Hutan menjadi ladang pengembangan cabang ilmu Etnofarmakologi, yang mempelajari secara ilmiah obat-obatan alami yang berasal dari tumbuhan dan bahan lain yang secara tradisional telah dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit.
Hutan juga ada di balik parfum dan berbagai produk wewangian, misalnya parfum dengan minyak esensial yang diekstrak dari pohon cendana, pohon kayu manis, dan pohon gaharu yang sudah semakin langka di alam namun sudah mulai banyak dibudidayakan. Penelitian Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap bahwa senyawa kimia sesquiterpenes di dalam gaharu, efektif menekan infeksi covid-19.
Berbagai buah-buahan dan bahan makanan orang kota juga banyak berasal dari hutan, atau dibudidayakan di wilayah berhutan. Contohnya, durian, petai, nangka, jamur dan berbagai jenis kacang-kacangan, termasuk yang bernilai jual tinggi, seperti kacang macadamia.
Segala hal itu hanya gambaran sederhana, sebagian kecil saja, dari berbagai produk hutan yang menunjang keseharian masyarakat perkotaan. Dan semuanya itu tidak akan tersedia bagi manusia jika hutan tidak terjaga.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran dan permintaan global untuk produk-produk berbasis alam yang ramah lingkungan, masyarakat kota pun semakin punya peluang ikut ambil bagian dalam mendekatkan diri dengan hutan. Salah satunya dengan memilih produk-produk yang berasal dari sumber-sumber yang berkelanjutan.
Ada banyak cara untuk mengingatkan kembali “kedekatan” dan ketergantungan manusia pada hutan. Bagi masyarakat perkotaan, kehadiran hutan kota bisa mendekatkan manusia secara fisik dengan hutan. Di luar itu, walaupun jauh di mata, hutan selalu hadir di sekeliling dan “dekat” dengan kita. Bahkan oksigen yang kita hirup tiap tarikan napas adalah hasil produksi hutan.
Karena peran dan fungsinya sudah menjadi siklus dan hukum alam terkadang kita lupa mensyukuri dengan menjaganya. Bencana alam, krisis iklim, pemanasan global, menjadi pengingat dan bukti nyata pentingnya kita menjaga rimba.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :