Kabar Baru| 27 Januari 2021
Data: Banjir dan Berkurangnya Tutupan Hutan Kalimantan Selatan
BANJIR besar Kalimantan Selatan sejak pekan lalu melanda 10 kabupaten dan kota Banjarmasin. Menurut Presiden Joko Widodo, banjir besar tersebut baru kali itu terjadi dalam 50 tahun terakhir. Hingga 25 Januari 2021, banjir menyebabkan 113.420 jiwa mengungsi, 6 hilang, dan 21 tewas.
Dalam kunjungannya ke Kabupaten Banjar pada 18 Januari 2021, Jokowi mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi dalam 10 hari berturut-turut membuat sungai Barito tak sanggup menampung volume air. Menurut Jokowi, biasanya sungai Barito menampung 230 juta meter kubik air. Saat hujan besar, volume air yang masuk sungai ini sebanyak 2,1 miliar meter kubik atau naik lebih dari 9 kali lipat.
Curah hujan tinggi di Kalimantan Selatan terjadi pada 9-13 Januari 2021. Intensitasnya mencapai 461 milimeter per hari atau naik rata-rata 394 milimeter per hari pada Januari 2020. Dalam klasifikasi hujan, intensitas ini termasuk hujan ekstrem (> 150 milimeter per hari).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menguatkan dugaan Jokowi soal penyebab banjir besar Kalimantan Selatan. Dalam serial twit pada 20 Januari 2021, Siti menulis bahwa penyebab utama banjir adalah “anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi”.
“Faktor lainnya beda tinggi hulu-hilir sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” tulis Siti.
Ada simpang siur informasi, terlebih banyak data tidak valid yg sengaja dikeluarkan beberapa pihak. KLHK selaku pemegang mandat walidata pemantauan sumberdaya hutan, menjelaskan, penyebab banjir Kalsel anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel.
— Siti Nurbaya Bakar (@SitiNurbayaLHK) January 20, 2021
Siti menampik pernyataan lembaga-lembaga lain yang menyebut penyebab banjir adalah hilangnya tutupan hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Barito. Menurut dia, DAS Barito Kalimantan Selatan seluas 1,8 juta hektare hanya sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektare. Sementara hulu DAS seluas 94,5% merupakan kawasan hutan dengan 83% tutupan hutan dan 1,3% hutan tanaman. “Dalam hal ini, hulu DAS Barito masih terjaga baik,” kata Siti.
Hujan dan hutan beririsan tak terpisahkan. Banjir adalah akibat dari tidak imbangnya kawasan hutan sebagai penangkap hujan dengan volume airnya. Karena itu, dalam Undang-Undang Kehutanan, pasal 18 ayat 2 menetapkan tutupan hutan di sebuah DAS atau pulau minimal 30% agar areal tersebut masih mampu menyerap curah hujan yang tinggi agar tak terjadi erosi.
Angka 30% merupakan penyesuaian dengan batas sebuah wilayah disebut masih berhutan. Karena itu sebuah hutan disebut mengalami deforestasi jika tutupan tajuknya di bawah 30% dari luas wilayahnya. Dalam pengertian resmi pemerintah seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.14/2004, hutan didefinisikan sebagai kawasan seluas minimal 0,25 hektare dengan tutupan tajuk 30% yang pada akhir daurnya mencapai tinggi minimal 5 meter.
Angka 30% juga disebut koefisien limpasan atau rasio aliran permukaan dengan curah hujan. Daerah pegunungan mesti memiliki koefisien lebih dari 30% sehingga tutupan tajuknya pun mesti sebanyak angka itu. Kini batas minimal tutupan hutan 30% dihapus dari ayat itu dalam UU Cipta Kerja.
Dengan koefisien tersebut, hutan dan hujan punya kaitan erat karena banjir hanya konsekuensi dari kekuatan hutan menyerap air. Seperti disebut Jokowi, banjir besar kali ini baru terjadi dalam 50 tahun terakhir. Pernyataan Jokowi berkorelasi dengan data tutupan hutan Kalimantan Selatan dalam 30 tahun ke belakang.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang 1990-2019, tutupan hutan Kalimantan Selatan berkurang seluas 28%. Pada 1990, total luas tutupan hutan Kalimantan Selatan masih 1.915.225 hektare atau 52% dari luas wilayah provinsi ini. Pada 2019, luas tutupan hutan tinggal 902.684 atau 24% dari luas wilayah.
Berkurangnya luas tutupan hutan (tajuk) paling masif terjadi pada 1996-2000 sebanyak 835.630 hektare atau setara 208.908 hektare per tahun. Setelah itu, seperti dikatakan Menteri Siti Nurbaya, berkurangnya tutupan hutan Kalimantan Selatan melandai. Bagaimana dengan kawasan hutan?
Kawasan hutan merujuk pada areal yang dikelola negara. Menurut Peta Kawasan Hutan Tahun 2018, kawasan hutan Kalimantan Selatan seluas 1.716.576 hektare. Kawasan hutan itu terdiri dari kawasan suaka alam 4.391 hektare, hutan lindung 509.362 hektare, hutan produksi tetap 724.822 hektare, hutan produksi terbatas 115.734 hektare, hutan produksi konversi 151.607 hektare, cagar alam 83.018 hektare, suaka margasatwa 10.386 hektare, taman wisata alam 1.460 hektare, dan taman hutan raya 107.787 hektare.
Dengan membandingkan data kawasan hutan dan luas tutupan tajuk pada tahun yang sama, 2018, dari Direktorat Jenderal Planologi terlihat perbedaan mencolok. Luas tutupan tajuk pada 2018 hanya 910.400 hektare. Artinya, kawasan hutan yang masih berupa hutan seluas 819.095 hektare atau hanya 48%. Sisanya, seluas 52% kawasan hutan Kalimantan Selatan, berupa areal nonhutan.
Untuk mengetahui kehilangan tajuk di kawasan hutan, kita perlu data-data spasial pemakaian kawasan hutan untuk keperluan lain di luar kepentingan kehutanan, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, atau tanah objek reforma agraria (TORA). Dengan menumpangsusunkan (overlay) data keduanya, akan terlihat tumpang tindih antara areal penggunaan kawasan hutan dengan kawasan hutan yang masih berhutan.
Data KLHK pada 2018 menunjukkan kawasan hutan untuk IPPKH seluas 54.731 hektare, pelepasan kawasan 582 hektare, transmigrasi 432 hektare, dan TORA 241 hektare. Total kawasan hutan yang masih berhutan terpakai untuk empat kepentingan itu seluas 55.985 hektare.
Walhasil, dengan mengurangkan luas kawasan hutan yang berhutan dengan luas areal penggunaan lain, tutupan tajuk di kawasan hutan menjadi tinggal 763.110 hektare. Jika dibandingkan dengan luas Provinsi Kalimantan Selatan seluas 3.683.328 hektare, kawasan hutan yang masih tertutup tajuk menjadi tinggal 20,72%, jauh di bawah luas minimal 30% seperti UU Kehutanan sebagai upaya menahan limpasan air hujan.
Meski ada banyak faktor yang menyebabkan banjir, seperti rob, beda tinggi permukaan, pertemuan dua sungai, hujan ekstrem, kehilangan tutupan hutan menjadi satu faktor krusial karena hutan punya fungsi hidrologis mengatur serapan air permukaan. Selain Barito, Kalimantan Selatan memiliki empat besar lain dan banyak sungai kecil yang berhulu di Pegunungan Meratus yang membentang dari utara ke selatan.
Dengan banjir besar seperti sekarang, selain rehabilitasi yang masif di hulu DAS Barito hingga mengembalikan hutan ke rasio di atas 30%, pelepasan kawasan hutan untuk keperluan lain juga perlu menimbang angka-angka dan keadaan ini. Sebab, dengan 30% pun rasio tutupan hutan terhadap daratan jauh lebih kecil dibanding negara lain: Jepang (67%), Finlandia (72%), Swedia (66%).
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :