Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Januari 2021

Solusi Daur Ulang Sampah Medis

Peneliti LIPI mengembangkan metode daur ulang sampah medis yang ramah lingkungan. Mudah, murah, dan bisa dilakukan siapa saja.

Tempat pemisahan sampah di sebelah sungai penuh sampah di Bogor (Foto: Asep Ayat)

PANDEMI virus corona covid-19 tak hanya menyebabkan resesi, merenggut nyawa, juga menghasilkan sampah medis. Banyaknya jumlah infeksi membuat kebutuhan pemakaian alat-alat pelindung diri meningkat sejak Maret 2020. Hingga Oktober 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat kenaikan sampah medis mencapai 50% atau lebih dari 1,6 juta ton.

Tak semua limbah medis tertangani. Penelitian Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan kenaikan volume sampah di Teluk Jakarta dari sungai Cilincing dan Marunda sebanyak 5%. Selain plastik yang mendominasi sampah di laut, peneliti LIPI menemukan jenis baru runtah di muara sungai: sampah medis. 

Konstruksi Kayu

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Surat Edaran SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 pada 24 Maret 2020, memberikan panduan memusnahkan sampah medis dengan cara dibakar pada suhu 8000 Celsius memakai insenerator. Residu atau cacahan pembakaran diberi label limbah beracun dan berbahaya (B3) yang mesti diolah lagi.

Masalahnya, pembakaran sampah tak menghilangkan residu. Juga, menghasilkan gas yang mengotori udara. Selain itu, pembakaran sampah membuatnya tak bisa dipakai lagi. Walhasil, produksi alat pelindung diri akan terus memakan sumber daya alam karena tak membentuk siklus kurangi, gunakan kembali, dan daur ulang (reduce, reuse, dan recycle).

Daur ulang sampah plastik yang ada sekarang juga belum menjawab secara tuntas problem sampah karena pencacahan tetap menghasilkan residu dan membuat unsur plastik dalam sampah terdegradasi. Akibatnya, sampah daur ulang kualitasnya menurun ketika akan dibuat jadi produk lagi.

Kombinasi masalah sampah medis ini mendorong Sunit Hendrana, peneliti di Pusat Penelitian Kimia LIPI mencoba cara baru daur ulang. Ia memakai metode rekristalisasi. “Metode ini menghasilkan kristal plastik yang murni sehingga bisa digunakan lagi dengan kualitas yang sama,” kata Sunit pada 27 Januari 2020.

Pada dasarnya, daur ulang sampah plastik memakai metode rekristalisasi adalah mencacah, lalu mencampurkan pelarut, mengendapkannya memakai antipelarut, dan menyaringnya. Kristal plastik, kata Sunit, akan terpisah dari unsur lain dalam alat-alat pelindung diri. 

Pada sehelai masker, misalnya, di dalamnya tak hanya ada plastik, tapi juga logam, dan unsur lain agar daya tangkal masker terhadap virus bisa bekerja. Dengan antipelarut, logam dalam masker akan terpisah dengan unsur-unsur lainnya.

Selama ini, unsur-unsur dalam alat pelindung diri susah dipisahkan memakai teknik daur ulang konvensional karena pelbagai plastik yang terkandung di dalamnya makin ringan. Teknik pelelehan dalam daur ulang sampah plastik biasa hanya membentuk granula (butiran) atau pelet. Sementara empat tahap metode rekristralisasi akan menghasilkan plastik murni yang terpisahkan dari unsur lain pada sampah.

Teknik rekristralisasi, menurut Sunit, memungkinkan degradasi sangat rendah karena pemisahan unsur-unsur dalam alat pelindung diri tidak memakai proses gesek (shear) dan tekan (stress) seperti dalam teknik daur ulang biasa. Reskristralisasi memungkinkan unsur plastik yang dihasilkannya murni dan tak merusak struktur kimianya. “Dengan teknik destilasi, pelarutnya bisa dipakai kembali,” kata Sunit. "Sehingga waste sangat sedikit dan tak berbahaya."

Metode rekristalisasi bisa diterapkan untuk pelbagai jenis sampah plastik, tak hanya sampah medis. Sepanjang sampah plastik mengandung polyethylene, polypropylene, polyvinyl chloride (PVC), dan polystyrene, teknik rekristalisasi bisa dipakai untuk menghasilkan serbuk plastik murni. “Bisa juga untuk plastik yang mengandung polyethylene terephthalate (PET), tapi pelarutnya toksik,” kata Sunit.

PET adalah bahan plastik yang biasa dipakai untuk bahan baku membuat kemasan air mineral, wadah saus, botol minuman ringan, atau botol minyak sayur. Karena kebutuhan itu, plastik PET kini paling banyak diproduksi di dunia. 

Sunit telah mendaftarkan metode rekristalisasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan mendapatkan paten pada Desember 2020. Kini ia sedang mengajukan proposal untuk membuat prototipe mesinnya sehingga bisa dipakai massal dan menjawab problem sampah medis, juga sampah plastik yang selama ini menghantui manajemen sampah Indonesia. “Ini metode sederhana, murah, dan bisa dilakukan siapa saja,” katanya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain