PEMERINTAH pusat dan daerah secara reaktif memberikan penjelasan penyebab banjir Kalimantan Selatan sejak pekan lalu.
Direktur Jenderal Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan menyatakan faktor dominan penyebab banjir adalah anomali cuaca (hujan ekstrem), daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng serta beda tinggi hulu hilir sangat besar. Sekretaris Daerah Kalimantan Selatan mengatakan banjir mungkin periode ulang 100 tahunan.
Apa pun faktor penyebabnya, banjir mengikuti kaidah ilmu hidrologi. Air mengikuti mekanisme alur neraca air yang telah diatur oleh alam. Banjir terjadi akibat volume aliran air di permukaan tanah (run off) lebih besar dibanding volume yang berinfiltrasi ke dalam tanah.
Dalam konsep pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), air hujan yang jatuh di suatu wilayah daratan akan ditangkap oleh daerah tangkapan air (catchment area) dan dialirkan ke sungai utama dan bermuara ke laut. Konektivitas hulu-hilir DAS menjadi penting karena DAS tidak mengenal wilayah administratif.
DAS Barito berada dalam wilayah empat provinsi di Kalimantan. Namun karena posisi provinsi ini di bagian tengah dan hilir, sementara hulu ada di Kalimantan Timur dan Tengah, maka apabila terjadi limpasan air dengan volume tinggi, yang paling terdampak banjir adalah Kalimantan Selatan.
Menjaga tutupan hutan (forest coverage) di hulu dan tengah menjadi keharusan untuk menjaga keseimbangan hidrologi hilir. Makin luas tutupan hutannya dan makin rapat pohon serta makin berlapis strata tajuknya akan makin banyak pula air hujan yang masuk ke dalam tanah.
Artinya, tutupan hutan di hulu DAS Barito merupakan faktor utama banjir, terlepas dari faktor lain yang disebut di atas. Karena sesungguhnya tutupan hutan merupakan faktor variabel yang dapat diubah dan dibuat oleh manusia, sedangkan penyebab banjir lainnya sifatnya tetap (faktor konstanta).
Bagaimana mungkin luas hutan di DAS Barito yang tinggal 20% mampu menahan volume hujan ekstrem yang mencapai 8-9 kali lipat curah hujan normal? Wajar apabila alih fungsi lahan hutan untuk pertambangan dan kebun sawit dianggap sebagai faktor penyebab banjir.
Pemerintah seharusnya antisipatif mengkaji ulang izin-izin pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mendukung kelestarian lingkungan sambil menggalakkan program rehabilitasi hutan dengan penanaman pohon secara massal dan masif dan berskala luas.
Satu satu solusi jangka panjang mengurangi besar dan kecepatan aliran permukaan tanah adalah dengan menanam pohon. Makin banyak penutupan pohon kesempatan air berinfiltrasi ke dalam tanah makin besar dibanding dengan air yang mengalir di permukaan tanah.
Besarnya jumlah dan jenis pohon yang ditanam tergantung dari agroklimat dan fungsi kawasannya. Dalam kawasan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air mutlak perlu pohon berdaun lebar dengan perakaran dalam dengan jarak tanam yang rapat.
Di luar kawasan hutan, perlu pohon bermanfaat ganda secara hidrologi dan ekonomis. Biasanya pohon buah-buahan. Untuk daerah yang topografi curam dan sangat curam penanaman pohon sebaiknya monokultur, sedangkan untuk yang landai dan datar, dapat dicampur dengan tanaman semusim dan tanaman pangan dalam bentuk budidaya agroforestri Sedangkan pada kawasan budidaya dan pemukiman penanaman dan pemilihan jenis pohon dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
Untuk daerah dengan kondisi kering dengan bulan basah yang sedikit seperti provinsi NTT, dapat dipilih jenis pohon dengan akar dalam dan berdaun jarum. Fungsinya mengurangi penguapan pada musim kemarau. Budaya menanam pohon perlu digalakan mengingat negara kita merupakan daerah rawan bencana banjir dan longsor pada musim hujan.
Fungsi pohon sempurna jika ia dewasa. Menurut ilmu ekologi hutan untuk menjadi pohon dewasa, pohon mengalami proses metamorfosis pertumbuhan dari bibit/anakan/semai (seedling), sapihan (sapling), tiang/pohon muda (pole) dan pohon yang sesungguhnya (trees). Pohon dewasa jika diameter batangnya di atas 35 sentimeter yang biasanya makan waktu tumbuh 15-20 tahun.
KLHK mengklaim luas lahan rehabilitasi bertambah dari 25.000 hektare menjadi 207.000 hektare pada 2019. Masalahnya, sejauh ini belum evaluasi keberhasilannya. KLHK juga belum punya instrumen pengukurannya, selain angka-angka target luas rehabilitasi.
Instrumen untuk menilai keberhasilan rehabilitasi hutan telah berkembang lebih maju dan lebih mudah dibanding dengan model dan pendekatan zaman Orde Baru dan masih diadopsi sampai sekarang. Penilaian keberhasilan model lama dilakukan secara manual dengan menggunakan sampling dengan besaran intensitas tertentu.
Sampling yang bisa dipakai adalah systematic stratified with random sampling dengan menghitung persentase jumlah tanaman yang hidup pada sampel. Oleh karena itu, pada luasan 1.000 hektare saja tanaman hutan yang dinilai berhasil membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Tapi dengan teknologi, instrumen ini lebih mudah menjadi bahan evaluasi.
Sudahkah pemerintah memakai instrumen ini? Entahlah.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :