KUALITAS lingkungan semakin menurun seiring dengan naiknya jumlah penduduk bumi. Menurut PBB, hingga Maret 2020 jumlah manusia yang ada di planet ini sebanyak 7,8 miliar. Jumlah ini hanya dicapai dalam waktu 200 tahun, bandingkan ketika jumlah manusia mencapai 1 miliar pertama selama 2 juta tahun.
Kerusakan lingkungan makin parah karena pola hidup manusia yang boros karbon. Kita memproduksi emisi untuk hidup sementara kecepatannya menyerapnya tak sebanding dengan pertumbuhannya. Krisis iklim kini sudah sangat terasa melalui pelbagai bencana: banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan.
Krisis iklim tak hanya melahirkan bencana, juga memusnahkan berbagai jenis satwa liar, plasma nutfah, hingga melahirkan pandemi ke pandemi. Pandemi kini semakin sering, tanda bahwa satwa liar yang menjadi inang virus pelan-pelan menghilang.
Segala permasalahan lingkungan inilah terjadi secara periodik setiap tahun, datang silih berganti. Hingga akhirnya, kondisi ekosistem alam dinilai sebagai penentu dan pengendali keberadaan suatu populasi makhluk hidup di bumi.
Terlepas dalam permasalahan demikian, ada salah satu subjek penentu masa depan bagi bumi, Yakni manusia. Para ahli menyebutnya sebagai zaman Anthropocene, ketika manusia jadi pusat dan penentu segala hal yang terjadi di bumi. Karena itu, kerusakan yang terjadi pun akibat ulah manusia.
Kita telah menciptakan “kesejahteraan palsu” dengan mengorbankan alam sedemikian rupa. Karena manusia yang jadi penyebab keburukan, maka kita juga yang bisa menjadi penyebab perbaikan. Salah satunya melalui ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencegah kerusakan ekologi.
Manusia memiliki akal, budi, dan nurani. Manusia bijak mereka yang bisa menguasai segala sumber daya yang dimiliki lantas menggunakannya sesuai dengan porsi dan cara pandang yang luas secara tepat dan cerdas.
“Bijak” dalam hal ini bersumber dari paradigma atau pola pikir. Pola pikir manusia memiliki dua jenis: fixed mindsetdan growth mindset.
Fixed mindset berarti memiliki pola pikir tetap, sebuah penggambaran tentang orang-orang yang percaya bahwa kualitas, kecerdasan, atau keadaan merupakan sifat yang sudah tetap (oleh karenanya tidak dapat berubah).
Sementara growth mindset berupa pola pikir yang terus berkembang seiring dengan peluang dan tantangan atas permasalahan yang terjadi. Bagaimanakah implementasi paradigma untuk meningkatkan “kesadaran” terhadap memperbaiki kualitas lingkungan?
Manusia yang memiliki fixed mindset adalah tipe manusia yang tidak bisa berkembang dan beradaptasi terhadap tantangan. Sementara isu mengenai eksistensi bumi semakin menantang manakala kita mengetahui bertumpuk-tumpuk permasalahan lingkungan dan alam yang terjadi dari tahun ke tahun. Di sinilah kita butuh pola pikir yang bertumbuh (growth mindset).
Menghadirkan kesadaran dan menyadarkan kehadiran adalah dua prinsip yang harus bisa ditekankan dalam mengembangkan pola pikir growth mindset. Kesadaran bahwa kita sebagai manusia, hadir di bumi tiada dosa, dihadirkan oleh Tuhan sebagai “wakil” di muka bumi yang memiliki tugas untuk menciptakan “kemakmuran” di bumi. Maka dari itu sudah sepantasnya manusia merawat bumi dengan segenap upaya.
Konsep menghadirkan kesadaran, misalnya, selalu ingat bahwa tiap aktivitas melahirkan sampah yang akan menurunkan kualitas lingkungan. Sehingga ke mana-mana kita akan sesedikit mungkin menghasilkan sampah dan memproduksi karbon.
Sementara itu, menyadarkan kehadiran bisa berupa cara kita bersyukur dengan menghargai segala hal yang memberikan kenikmatan dan fasilitas: udara, air, ekosistem, dan segala hukum alam yang membuat hidup menjadi nyaman.
Dengan dua kesadaran itu, kita telah menempuh cara melindungi alam dengan bijak. Kapasitas setiap orang mendapatkan kesadaran terhadap lingkungan tentu berbeda-beda. Lingkungan, ekonomi, pendidikan, akan mempengaruhinya. Tapi kesadaran ini bisa melampaui ketiganya. Orang miskin tak lebih sadar dibanding orang kaya, orang kaya tak lebih tidak sadar ketimbang orang miskin, dan seterusnya. Kesadaran milik inheren manusia tanpa memandang faktor luar yang mempengaruhinya.
Dengan kesadaran itu kita tak akan saling menyalahkan, tapi bertindak dari kemampuannya masing-masing. Pengusaha akan menciptakan sistem yang melindungi lingkungan, penguasa akan melahirkan kebijakan yang mencegah kerusakan, tiap-tiap individu akan melakukannya dari tindakan yang paling kecil.
Untuk mempertahankan lingkungan dan alam kita harus berkaca pada diri sendiri. Kesadaran ini mesti kita bangun dan tanamkan sejak dini. Sejauh mana gaya hidup kita berpihak terhadap penyelamatan lingkungan?
Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk melindungi dan merawat lingkungan secara nyata.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan 2019
Topik :