Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 22 September 2021

7 Catatan Revisi UU 5/1990

DPR tengah merevisi UU 5/1990 tentang konservasi. Perlu memperjelas zona kawasan konservasi.

Burung kipsan belang (Rhipidura javanica) yang sedang menyambar serangga di ranting pohon kanal Hantipan. (Foto: Asep Ayat/FD)

KOMISI Lingkungan Hidup DPR sedang membahas revisi Undang-Undang (UU) 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Revisi ini sudah selayaknya karena aturan konservasi sudah berusia lebih dari tiga dekade, kurang relevan lagi dalam menjawab problem konservasi hari ini.

Misalnya, soal menjamurnya perkebunan ilegal di kawasan hutan konservasi. Belum lagi, kejelasan tentang pembagian kewenangan dan otorisasi kawasan taman nasional yang didominasi perairan (seperti Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat) antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ada beberapa hal catatan revisi UU 5/1990:

Pertama, meskipun undang-undang ini bersifat lex spesialist lex generalis yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, tetap harus memperhatikan, mempertimbangkan, dan mengacu pada UU 41/1999 tentang kehutanan, UU 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan, yang diperbarui dalam UU Cipta Kerja dan RUU Masyarakat Hukum Adat yang masuk program legislasi nasional 2021.

Kedua, terminologi hutan konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA), dan taman buru yang masih berlaku dalam UU 41/1999. KSA terdiri dari cagar alam dan suaka alam, sementara KPA terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata. Dalam RUU ini, taman buru nyelonong dalam bagian KPA, padahal dalam UU 41/1999 taman buru di luar KPA dan KSA.

Ketiga, RUU ini belum mengacu pada pasal 41 ayat (2) UU Kehutanan dan penjelasannya yang menyatakan bahwa kegiatan rehabilitasi di semua hutan dan kawasan hutan, kecuali di cagar alam dan zona inti taman nasional. Dalam penjelasannya pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh ada kegiatan rehabilitasi untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.

Keempat, pembagian zonasi atau blok tak disebut secara jelas dan tegas. Batas-batas zonasi atau blok dalam KSA dan KPA yang selama ini dibuat di atas peta mesti disebut dan diperjelas dalam proses pengukuhan kawasan konservasi dengan membuat patok-patok batas antar zona atau blok sebelum penetapan.

Kelima, perlu memperjelas pembagian kewenangan dan otoritas pengelolaan terhadap kawasan konservasi antara KLHK dan KKP. Misalnya, KLHK berwenang atas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di wilayah daratan, sementara KKP di kawasan konservasi yang berada di perairan.

Keenam, perlu sinkronisasi dengan UU 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan yang telah diperbaharui dalam UU Cipta Kerja. Demikian halnya sengketa lahan dalam kawasan konservasi (konflik tenurial), harus juga mengacu pada mekanisme penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan konservasi yang telah diatur dalam UU 18/2013.

Mekanisme penyelesaian konflik tenurial tersebut antara lain melalui:

1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di kawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha dikenai sanksi administratif, berupa: penghentian sementara kegiatan usaha; denda; dan/atau paksaan pemerintah;

2) Dalam hal pelanggaran oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.

3) Pengaturan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara sanksi administratif berdasarkan luas kawasan hutan yang dikuasai; jangka waktunya dihitung sejak mulai panen; dan persentase dari keuntungan yang diperoleh setiap tahun.

Ketujuh, memasukkan isu besar sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, kelak UU 5/1990 hasil revisi lebih representatif untuk kepentingan konservasi dan masyarakat.

Ikuti percakapan tentang konservasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain