PEMERINTAH akan memberlakukan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus atau KHDPK. Salah satu skema KHDPK adalah perhutanan sosial. Dasar perhutanan sosial kini ada di Undang-Undang Kehutanan yang direvisi melalui omnibus law UU Cipta Kerja.
Peraturan selanjutnya menentukan skema dan implementasinya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 menguraikan mekanisme mengeluarkan izin skema perhutanan sosial seperti hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), dan kemitraan kehutanan (KK).
Dengan skema-skema itu, hutan sosial menjadi sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287/2022 menegaskan KHDPK karena disertai peta dan pembagian wilayah. Arealnya seluas 1,1 juta hektare yang dulu dikelola oleh Perhutani.
Ada banyak pertanyaan setelah SK 287 itu terbit. Berapa hektare lahan di Blora, Jawa Timur, yang masuk KHDPK? Berapa keluarga yang bakal mendapatkan lahan garapan hutan? Apakah KHDPK akan berdampak pada kerusakan sumber daya hutan beserta habitatnya? Peran strategis apa yang bisa dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora?
Akses pengelolaan kawasan hutan negara oleh masyarakat adalah kemerdekaan. Pengelolaan hutan di Blora belum beranjak dari dua persoalan serius yang sudah sejak lama ada, yaitu kemiskinan masyarakat desa hutan dan kerusakan sumber daya hutan.
Menurut hasil penelitian Brown (2003) yang dikutip oleh CIFOR (Wollenberg, 2004), sebagian besar dari masyarakat desa hutan pada umumnya menggantungkan hidup dari sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Sekitar 30% dari mereka tergolong sebagai masyarakat miskin yang secara ekonomi memiliki kerentanan cukup tinggi dan memerlukan bantuan nyata, baik di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, maupun ekonomi sehari-hari.
Maka apa dampak KHDPK bagi petani tuna lahan garapan? Akses atau kemerdekaan yang diberikan negara untuk masyarakat Blora agar bisa turut mengelola hutan lewat KHDPK bagaikan perjuangan kemerdekaan ditahun 1945.
Bagi sebagian kecil kelompok orang yang dulu hidup di bawah penjajah dan sejahtera di zaman penjajahan tentu tak menginginkan Indonesia merdeka. Mereka lebih senang Indonesia dijajah kembali dan mereka tetap di zona nyaman. Mereka yang mendapat makan kenyang di era sebelum KHDPK tentu tidak menginginkan masyarakat pesanggem atau petani gurem yang begitu banyak jadi merdeka atau mendapatkan akses tanah garapan dibawah tegakan hutan.
Mereka adalah segelintir kelompok yang kontra dengan keberadaan KHDPK.
Akses yang diberikan negara untuk masyarakat Blora agar bisa turut mengelola hutan lewat KHDPK dampaknya akan luar bisa besar. Pertama adalah rasa memiliki yang tinggi terhadap hutan. Kelompok Tani Hutan (KTH), pesanggem atau petani penggarap lahan hutan akan semakin mendapat akses yang luas menggarap hutan.
Selama ini persoalan terbesar soal kehutanan adalah pengamanan. Perhutani selama ini takut hasil hutannya diambil oleh masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan para pencuri itu bukan masyarakat. Jika masyarakat tidak disuruh atau tidak kong-kalikong dengan petugas, sangat sulit bagi mereka bisa mencuri kayu di hutan.
Dengan adanya rasa memiliki yang tinggi oleh masyarakat desa hutan setempat lewat KHDPK pengamanan akan lebih efisien. Bisa jadi masyarakat akan menolak jika diajak petugas untuk kongkalikong menjarah hutannya sendiri.
Kedua soal produktivitas dan pendapatan masyarakat petani pinggiran hutan. Dengan KHDPK kesejahteraan mereka akan meningkat karena legalitasnya jelas. Komoditas juga akan lebih beragam karena mereka tenang menggarap hutan. Masyarakat tidak takut lagi jika sewaktu-waktu lahan garapan tiba-tiba diminta Perhutani atau korporat untuk ditanami risidi atau kaliandra dengan dalih bermitra dengan Perhutani.
Akses mengelola lahan hutan selama 35 tahun secara legal dengan sendirinya bisa mengentaskan kemiskinan di desa sekitar hutan. Apalagi ditahun 2022 ini harga palawija jagung sedang tinggi, melebihi harga gabah kering giling.
Ketiga masyarakat memiliki imajinasi untuk hidup yang lebih layak dan sejahtera. Dengan imajinasi hutan akan lebih berguna dan bermanfaat buat mereka, ekosistem, lingkungan dan negara.
Imajinasi ini tak bisa diabaikan begitu saja. Kebebasan atau kemerdekaan atau perluasan akses mengelola hutan negara dengan imajinasi tentu memudahkan rakyat mengisi kemerdekaan sesuai dengan keinginannya.
Keempat adalah rasa percaya diri yang lebih tinggi. Sebelum akses perhutanan sosial dibuka, para petani gemetar tiap bertemu mandor Perhutani. Stigma blandong, pencuri kayu jati, perambah hutan dan lain-lain, dengan perhutanan sosial lewat KHDPK dengan sendirinya hilang.
Terakhir adalah berkembangnya ekosistem hutan. Akan banyak beragam tanaman komoditas hasil hutan, tanaman obat, bunga-bungaan, pakan ternak, hewan peliharaan, berikut tanaman kesehatan.
Dengan imajinasi petani menggarap hutan lewat KHDPK seperti itu, ekosistem akan lebih terjaga. Dengan begitu, slogan “ hutan subur rakyatnya Makmur” akan terwujud.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Ketua LSM Jatibumi Blora
Topik :