Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 06 Oktober 2022

Apa Itu Ultimum Remedium Kehutanan

Ultimum remedium akan jadi prinsip penegakan hukum konflik tenurial. Apa itu ultimum remedium?

Petani perkebunan kelapa sawit di Jambi (Foto: Istimewa)

SEJAK Undang-Undang Cipta Kerja terbit populer istilah ultimum remedium. Apa itu ultimum remedium di bidang kehutanan? Ultimum remedium adalah jurus pamungkas yang ditunggu-tunggu para pihak yang terlibat dalam konflik tenurial di kawasan hutan yang berlangsung cukup lama.

Pembangunan menuntut kebutuhan lahan yang berujung pada konflik tenurial. UU Cipta Kerja datang dengan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium yang mengutamakan sanksi administratif sebelum sanksi pidana akibat suatu kegiatan berdampak pada kesehatan, keselamatan, dan atau lingkungan (K2L).

Konstruksi Kayu

Prinsip ultimum remidium tecermin dalam pengaturan norma Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang diubah oleh Pasal 37 UU Cipta Kerja.

Pasal 110A mengatur kegiatan usaha perkebunan  kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai rencana tata tuang tetapi belum punya izin bidang kehutanan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja tidak dikenakan sanksi pidana, tapi penyelesaian izin dengan membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi. Sementara pasal 110B mengatur sanksi administrasi berupa penghentian sementara kegiatan usaha.

Menurut Topo Santoso, guru besar hukum Universitas Indonesia, ultimum remedium adalah salah satu asas dalam hukum pidana Indonesia yang mengatur hukum pidana jadi upaya terakhir dalam penegakan hukum. Apabila suatu perkara bisa diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi), maka jalur ini yang dipakai. Sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi memiliki sanksi yang keras.

Pemakaian prinsip ultimum remedium tidak terbatas hanya sektor kehutanan, juga bidang lain seperti perpajakan, lingkungan hidup, pemidanaan anak. Dalam bidang kehutanan ultimum remedium ini digunakan menyelesaikan konflik tenurial perkebunan sawit di kawasan hutan.

Sengkarut perkebunan sawit dalam kawasan hutan, oleh korporasi maupun masyarakat, mulai terjadi pada saat peralihan Orde Baru ke era Reformasi 1998. Otonomi diterjemahkan sebagai pemanfaatan sumber daya hutan melalui penguasaan dan pemberian izin. Padahal, izin pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan merupakan domain pemerintah pusat.

Berdasarkan hasil identifikasi, perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan kurang lebih 3,4 juta hektare. Dengan ultimum remedium, melalui UU Cipta Kerja dan PP Nomor 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan, pemerintah coba mengurai kebun sawit ilegal ini.

PP 24/2021 mensyaratkan pemutihan sawit di kawasan hutan pertama-tama dengan inventarisasi. Artinya pemilik kebun sawit di kawasan hutan mendeklarasikan diri untuk mendapatkan pengampunan.

Sawit di kawasan hutan

Sawit yang tak memiliki izin dari pemerintah daerah akan terkena sanksi administratif berupa denda. Kebun sawit tanpa izin dan telah membayar denda, punya kesempatan melanjutkan budidaya selama satu daur (25 tahun) dengan sistem agroforestri jangka benah tanpa melakukan peremajaan tanaman sawit baru. Jika telah mencapai satu daur tanaman lahan tersebut dikembalikan kepada negara untuk diubah menjadi kawasan hutan kembali.

Sementara untuk kebun sawit rakyat yang luasnya sampai dengan 5 hektare, akan masuk ke dalam program perhutanan sosial dan harus mengikuti ketentuan kegiatan perhutanan sosial. 

Belum selesai urusan proses ultimum remedium bagi kebun sawit, Uni Eropa menerbitkan aturan regulasi produk bebas deforestasi Uni Eropa atau yang lebih dikenal sebagai European Union Due Diligence Regulation (EUDDR). Hanya sawit yang bisa membuktikan diri tak terkait deforestasi yang akan diterima negara Eropa.

Sebagai pemasok minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, Indonesia harus segera menyikapi kebijakan EUDDR ini. Jangan sampai minyak sawit dari 14 juta hektare yang menjadi penyumbang devisa terbesar ekspor nonmigas terganggu karena ultimum remedium 3,3 juta hektare belum selesai.

Ikuti perakapan tentang UU Cipta Kerja di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain