PERHUTANAN sosial sepertinya sudah perlu ditelaah, terutama soal keberlanjutannya. Soalnya program ini semakin terlihat strategis mewujudkan pemanfaatan sumber daya hutan yang lebih adil. Masalahnya membangun keberlanjutan perhutanan sosial tidak sesederhana membangun keberlanjutan produksi kayu oleh berbagai usaha hutan tanaman.
Menurut laporan terbaru Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, sampai awal Oktober 2022, realisasi perhutanan sosial mencapai 5.087.754 hektare dengan 7.694 unit surat keputusan, yang diikuti lebih dari 1 juta kepala keluarga. Apa faktor penentu keberlanjutan program ini?
Rupanya bukan hanya pada pengaturan hasil produksi dan manfaat ekonomi, juga menyangkut kemampuan petani dan aset mereka, termasuk sumber daya material dan sosial sebagai penopang penghidupan masyarakat, yaitu mata pencarian berkelanjutan. Ketika individu dan masyarakat bisa mengatasi dan pulih dari tekanan maupun guncangan, mempertahankan atau meningkatkan kemampuan dan nilai asetnya, mereka terdorong tidak merusak sumber daya alam (IDS, 1998).
Keberlanjutan seperti itu disebut keberlanjutan mata pencarian, yang mungkin sesuai untuk menilai keberlanjutan perhutanan sosial.
Ada dua publikasi mengenai perhutanan sosial yang menilai kelayakan ekonomi perhutanan sosial. Pertama publikasi Dadang Jainal Mutaqin, dkk (2022) yang menghubungkan perhutanan sosial dengan kualitas lingkungan dan ekonomi. Mereka menyebut beberapa hal berikut ini:
Pertama, perhutanan sosial memiliki posisi strategis mendukung pemulihan ekonomi masyarakat melalui pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Dengan menelaah data perhutanan sosial di 1.014 desa tertinggal (1,32 juta hektare) dan 305 desa perbatasan (1,14 juta hektare), yang diikuti oleh 326.990 kepala keluarga.
Dari aspek usaha, dengan 550 KUPS yang berstatus gold dan platinum versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, petani telah mendapatkan manfaat ekonomi dan punya akses pasar di lingkup lokal. Dalam Go KUPS, petani hutan sosial seperti ini masuk kelompok gold, sementara petani yang punya akses pasar skala nasional atau internasional akan masuk kategori platinum.
Dari hasil survei Dadang, sebanyak 96,8% pengelola KUPS menilai perhutanan sosial menjadi solusi perbaikan ekonomi kelompok, 36,8% menganggap usahanya cukup memenuhi kebutuhan primer rumah tangga. Pendapatan KUPS berkisar antara Rp 25-75 juta tiap bulan.
Kedua, dari sisi lingkungan, 81,5% pengelola KUPS menyatakan perambahan kawasan hutan turun separuh. Perhutanan sosial juga bisa menjadi alternatif pemulihan kondisi lingkungan melalui kegiatan penanaman, baik sebagai bagian dari keberlanjutan produksi maupun rehabilitasi kawasan hutan yang dikelola.
Ketiga, perhutanan sosial masih memiliki kendala, terutama mengenai kapasitas pendamping yang terbatas serta belum sinerginya program antar sektor yang mendukung kebijakan ini.
Publikasi kedua dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan pada 2019 yang memuat artikel Yanto Rohmayanto, dkk. Artikel ini membahas dua skema perhutanan sosial yaitu hutan kemasyarakatan dan kemitraan yang mewakili dua model komoditas agroforestri dan ekowisata. Lokasi penelitiannya di enam desa di Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat.
Hasil penelitian Yanto, dkk, menunjukkan bahwa skala usaha ekonomi perhutanan sosial agroforestri tercapai pada luas lahan 0,16-9,33 hektare yang dipengaruhi oleh ragam jenis komoditas. Adapun skala usaha ekowisata tercapai pada kunjungan wisatawan minimal 542.897 orang yang dipengaruhi oleh jumlah atraksi.
Penelitian Yanto merekomendasikan perhutanan sosial perlu memberikan kebebasan pemilihan komoditas, komposisi jenis, dan pola tanam yang mendukung pemenuhan skala usaha ekonomis. Kayu merupakan komponen penting dalam membentuk arus kas agroforestri, sehingga perizinan penebangan kayu perlu dipermudah atau pemanfaatan kayu eks rehabilitasi perlu dibuka. Ekowisata sebagai pilihan pengembangan perhutanan sosial perlu memperhatikan kapasitas investasi, serta mendorong strategi multi atraksi agar skala usaha ekonominya terpenuhi.
Kedua kajian itu fokus pada perhutanan sosial yang telah berhasil. Bila dilihat secara keseluruhan dari 6.831 KUPS, status gold dan platinum masih terbatas, yaitu sebanyak 550 KUPS (8%). Sedangkan yang berstatus blue dan silver sebanyak 6.281 KUPS (92%) (Mutaqin, dkk 2022). Untuk itu selain identifikasi masalah perhutanan sosial, faktor penentu keberlanjutannya telaah lebih jauh. Terutama faktor penopang eksistensi perhutanan sosial yang bersumber secara internal di dalam masyarakat.
Ian Scoones dalam “Sustainable Rural Livelihoods A Framework for Analysis“ (1998) menyebut kerangka kerja keberlanjutan dengan subyek utama keluarga dan masyarakat akan selalu mengikuti konteks atau kondisi tertentu. Artinya, tidak bersifat umum. Sebab setiap kelompok masyarakat selalu terikat oleh sejarah, agroekologi, kondisi sosial ekonomi maupun politik tertentu.
Faktor-faktor kontekstual itu, menurut Scoones, menentukan kombinasi “sumber mata pencarian” yang menghasilkan kemampuan menjalankan “strategi mata pencarian” tertentu, dengan hasil yang dicapai tertentu pula. Dalam prosesnya ada faktor kelembagaan atau aturan main, baik formal maupun informal, yang memediasi kemampuan melaksanakan strategi mencapai hasil.
Sumber mata pencarian itu sangat bergantung pada keberhasilan mewujudkan “hari kerja”. Apakah perhutanan sosial bisa menghasilkan, misalnya, minimal 200 hari kerja dalam setahun sebagai faktor penentu menciptakan mata pencarian? Juga apakah perhutanan sosial bisa menghapus kemiskinan absolut atau relatif? Hal yang lebih luas apakah perhutanan sosiak bisa mendorong masyarakat menjalankan hak-hak dasarnya? Apakah pelaku perhutanan sosial punya akses ke pengetahuan dan informasi, seperti sumber modal, harga komoditi, teknologi, dan lain-lain.
Selain itu, keberlanjutan mata pencarian juga mencakup adaptasi, kerentanan dan ketahanan. Kemampuan mata pencarian mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, bagi Scoones, merupakan inti dari definisi mata pencarian berkelanjutan. Ketangguhan menghadapi tekanan dan guncangan adalah kunci, baik untuk adaptasi maupun mengatasinya. Konsekuensinya bagi kebijakan perhutanan sosial adalah menentukan faktor sebagai penyebab kerentanan dan ketahanan itu.
Kemampuan melakukan adaptasi itu, dalam praktiknya, dilakukan oleh pendamping perhutanan sosial.
Dari observasi saya di lapangan, biasanya pendamping yang berhasil bisa membangun reputasi dan kepercayaan dalam menentukan arah intensifikasi atau ekstensifikasi pengelolaan sumber daya, menentukan diversifikasi mata pencarian yang mungkin, termasuk pilihan investasinya.Proses komunikasi intensif di antara mereka pada akhirnya membentuk kelembagaan sebagai praktik atau pola perilaku berdasarkan norma yang digunakan secara terus-menerus.
Oleh karena itu, kelembagaan yang berhasil dapat bersifat formal dan informal, sering kali berubah-ubah, dan biasanya tunduk pada berbagai interpretasi oleh aktor yang berbeda. Maka terlihat pula relasi kekuasaan membuat kontestasi atas praktik, aturan, dan norma itu. Hal seperti ini, di satu sisi, membangun iklim positif karena fleksibel, di sisi lain akan mudah goyah, ketika orang-orang yang menentukan kelembagaan itu diganti dengan orang lain.
Meski begitu, pendekatan mata pencarian berkelanjutan menekankan pengaturan kelembagaan dan organisasi yang tepat sesuai kondisi di lapangan, dengan penekanan pada mekanisme formal dan informal. Karena sudah terbukti, mekanisme seperti itu yang akan memilih berbagai kebutuhan yang sesuai.
Karena itu, kerangka kerja mata pencarian berkelanjutan perhutanan sosial melintasi hubungan birokrasi pemerintah dan spesialisasi profesional. Karakteristik pendekatan ini melintasi batas-batas konvensional, yang perlu jalankan oleh lembaga yang berwatak manajemen lapangan yang menentukan bentuk administrasinya. Dan bukan sebaliknya, administrasi yang cenderung kaku menentukan manajemen di lapangan. Sebab hal yang dikerjakan dan dipantau adalah berbagai fakta spesifik dan khas, yang berubah seiring perubahan lingkungan di sekitarnya.
Ikuti perkembangan terbaru perhutanan sosial di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :