Kabar Baru| 23 Oktober 2022
Potensi Kemiri Tanah Laut
KEDATANGAN para petugas Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Tanah Laut pada 2016 ke Desa Galam membuat penduduk sadar apa yang mereka praktikkan bertahun-tahun keliru. Selama ini mereka meneruskan apa yang sudah dilakukan nenek moyang: menebang pohon kemiri untuk jadi mebel.
Desa Galam di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, merupakan area endemik pohon kemiri (Aleurites moluccanus) . Di sini kemiri tumbuh secara alamiah di gunung dan bukit-bukit. Penduduk menanamnya kemudian untuk mengincar kayunya jika sudah berusia 5-10 tahun. “Kami tidak tahu ternyata menebang kemiri tidak boleh,” kata Warsito, penduduk Desa Galam.
Larangan itu terutama untuk kemiri yang ada di hutan negara. Warsito tahu bahwa kemiri yang ia tebang ada di lahan negara. Namun, karena tak ada yang memperingatkan, ia dan penduduk lain terus menebangnya. Para petugas KPH Tanah Laut datang dan mengingatkan seraya menawarkan solusi pengganti kehilangan nilai ekonomi kayu kemiri dengan produk hasil hutan bukan kayu.
KPH Tanah Laut meminta penduduk mengolah buah kemiri yang jatuh. Menurut Warsito, sejak lama mereka tahu kemiri bermanfaat dan dibutuhkan untuk bumbu masakan. Tapi karena tak ada yang membelinya mereka hanya memanfaatkan buah kemiri jatuh untuk keperluan rumah tangga sehari-hari.
Kayu kemiri menjadi tabungan masyarakat. Warsito menjadi semacam pengepul kayu untuk dijual lagi ke industri plywood. Namun, akibatnya bukit Batu Kura di dekat kampung acap longsor jika musim hujan. Meski tak pernah menelan korban jiwa, longsoran bukit menindih kebun-kebun penduduk.
KPH Tanah Laut sedang berada dalam Program Investasi Hutan (FIP 2) atau Forest Investment Project yang didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Denmark. Pendanaan proyek selama lima tahun ini berupa hibah US$ 22 juta. Sasarannya 10 KPH di Indonesia. KPH Tanah Laut menjadi salah satu KPH yang terpilih mendapatkan hibah ini.
Karena penduduk mengelola lahan negara, KPH Tanah Laut mendorong penduduk mengajukan perhutanan sosial. Pertama-tama mereka membentuk kelompok tani hutan (KTH). Ada tiga KTH di Desa Galam. Salah satunya KTH Batu Kura. Anggotanya 36 petani. “Kami ajukan mengelola kemiri sebagai komoditas,” kata M. Yushak, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Kemiri yang menjadi bagian KTH. “Sebab hanya kemiri komoditas yang kami tahu.”
Setahun kemudian izin perhutanan sosial seluas 190 hektare terbit. Hibah sebesar Rp 118,9 juta mereka pakai membuat rumah produksi kemiri dan mesin pengolah cangkang kemiri menjadi asap cair sebagai bahan baku disinfektan, pengental karet, bahkan pengusir bau. Kandang kambing di sebelah bangun rumah produksi yang kayunya dicat minyak kemiri ini pun tak meruapkan bau kambing. Rumah produksi itu berdiri di lahan yang dihibahkan anggota KTH.
Tiap hari tiap orang menjual kemiri dari kebun mereka rata-rata 3-4 kilogram. Koperasi KTH Batu Kura membelinya Rp 5.500 per kilogram kemiri kering. Di kebun mereka membudidayakan petai atau jengkol seraya memuliakan pohon kemiri yang sudah berbuah ketika berusia 3 tahun.
Dengan menanam kemiri, bukit hijau kembali. Kemiri rupanya bisa menjadi tanaman rehabilitasi hutan karena batangnya yang tinggi dan akarnya yang kokoh jadi penahan erosi. Maka, mengolah kemiri tak menghasilkan sampah. Sejak dari pohon sampai diolah menghasilkan nilai ekonomi. Koperasi menjual asap cair ke pasar Rp 4.000 per liter.
Mesin pengolah cangkang kemiri itu berkapasitas 40 kilogram yang dibakar menghasilkan minyak 12 liter minyak dalam 24 jam. Sementara kemiri butuh proses agak panjang. Setelah dijemur, kemiri harus dikeringkan di kulkas, lalu diayak, kemudian dipilah, sebelum dikemas.
Semua proses itu memerlukan tenaga kerja. Menjemur, misalnya, butuh biaya Rp 100.000 sehari, memilah Rp 1.000 per kilogram. Setiap bulan KTH Batu Kura menjual 2 ton kemiri. Harganya Rp 28.000 per kilogram untuk kemiri yang bulat utuh. Kemiri pecah lebih rendah lagi, hanya Rp 25.000.
Walhasil, dalam sebulan, omzet KTH Batu Kura Rp 12 juta. Nilai ekonomi ini, kata Yushak, masih terlalu kecil karena ongkos produksi masih terlalu besar. Uang tersisa dari penjualan sekitar Rp 3-4 juta sebulan saja.
Meski begitu, Yushak maupun Warsito, yang menjabat Sekretaris KTH Batu Kura, optimistis usaha kemiri akan makin berkembang. Yushak bercerita, bulan lalu datang ke desa mereka seorang distributor kemiri yang meminta penduduk menyediakan kemiri mentah 1 kontainer atau 27 ton sebulan.
Yushak bungah dengan tawaran itu tapi ia jeri juga karena kemiri dari penduduk tak tentu jumlahnya. Karena sambilan menggarap hutan, tak ada patokan serapan. “Itu pun disesuaikan dengan keuangan koperasi,” kata dia. Dengan keuntungan Rp 3 juta sebulan, KTH belum bisa menabung untuk modal mengembangkan usaha.
Pembeli kemiri Desa Galam baru pembeli perorangan, pasar lokal, dan warung-warung di sekitar. Ada juga penjualan lewat internet melalui pusat sistem informasi KPH Tanah Laut. Para administrator web KPH menghubungkan produk unggulan tiap KTH ke Tokopedia, Shopee, atau toko-toko online lain.
Menurut Warsito, jika ada permintaan banyak, petani memang harus makin giat menanam kemiri di lahan-lahan negara. Dengan budidaya kemiri, bukit Batu Kura kini hijau kembali. Ia sudah berhenti menjadi pembeli kayu kemiri karena kini jadi terlarang. “Tapi kami senang karena selain kemiri kami bisa budidaya tanaman lain,” kata dia.
Ikuti perkembangan terbaru perhutanan sosial di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :