Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 Oktober 2022

KHDPK: Pisau Bermata Dua

Kebijakan KHDPK mesti kembali pada argumen awal mengelola hutan Jawa: benarkah rakyat menjadi perusak hutan?

Areal hutan Limpak Uwus di Purwokerto yang dikelola Perum Perhutani (Foto: Dok. FD)

KEBIJAKAN kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) seperti pisau bermata dua. Satu sisi memberikan harapan kepada rakyat untuk lepas dari cengkeraman Perhutani yang selama ini menjadi penguasa hutan Jawa, sehingga mereka bisa mengelola kawasan hutan secara mandiri.

Di sisi lain ada kecenderungan kebijakan tersebut bukan untuk mengembalikan kuasa rakyat mengelola hutan tapi pintu pertama mendorong penguasaan hutan oleh pihak lain, seperti investor yang polanya juga tidak jauh dari Perhutani.

Konstruksi Kayu

Bahkan jika ditilik lebih jauh, KHDPK membuka peluang mencerabut akses rakyat atas hutan. Salah satu latar belakang munculnya KHDPK adalah kebijakan proyek strategis nasional dan kawasan ekonomi khusus.

Dalih lain pengurus negara menerbitkan kebijakan ini adalah mendorong penataan kawasan hutan dan melindungi kawasan hutan yang semakin kritis, di samping ingin menyejahterakan rakyat.

Melihat tren alih fungsi kawasan hutan dan naiknya luas lahan kritis serta semakin meningkatnya bencana, regulasi yang ada sekarang belum mampu menjawab kebutuhan rakyat terutama akses kelola. 

Bagaimana rakyat mendapatkan akses yang penuh atas hutan di sekitarnya? Kapan rakyat berdaulat menata sendiri wilayahnya sesuai dengan pengetahuan lokal dan pengalaman mereka? Bagaimana negara mengakui dan memberikan jaminan rasa aman dan nyaman dalam memanfaatkan kawasan hutan tanpa harus merasa terancam. 

Pengelolaan hutan Jawa bermasalah sejak era kolonial. Merujuk pada catatan Peluso (2006) dalam “Hutan Kaya Rakyat Melarat” tergambar pada masa kolonialisme hutan diambil-alih oleh negara, dikelola oleh jawatan, lalu dibagi dalam petak-petak kecil. 

Pengambilalihan akses rakyat oleh negara membuat rakyat tereksklusi. Negara lalu menetapkan sebuah hutan sebagai kawasan hutan, kemudian membaginya berdasarkan fungsi seperti hutan produksi, lindung, atau konservasi.

Penetapan status dan fungsi hutan tersebut pada dasarnya merupakan kuasa negara dalam penguasaan hutan dengan melakukan penataan akses yang membatasi akses masyarakat. Seiring waktu, hidup masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pun menjadi tercerai dan terekslusi dari hutan tempat hidup mereka. 

Pemisahan itu membuat pengelolaan hutan oleh negara tak mengakomodasi pengetahuan lokal masyarakat di dalamnya. Ketika Perhutani menetapkan sebuah area sebagai hutan produksi, mereka menetapkannya sendiri tanpa melibatkan masyarakat yang punya pengetahuan jenis dan ekosistem hutan tersebut.

Ketika area lain ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan konservasi, negara melarang masyarakat memasukinya—kendati mereka punya pengetahuan cukup berhubungan dengan hutan konservasi tanpa merusaknya. Dari sini pengelolaan hutan membuat masyarakat kehilangan akses terhadap ruang hidup mereka.

Kuasa negara dalam menata akses mengelola hutan yang terpusat, terlihat dari aneka kebijakan. Dari pemberian wewenang kepada Perhutani menguasai hutan produksi dan lindung sampai kebijakan perhutanan sosial yang membuka peluang masyarakat dan petani mendapatkan akses mengelola hutan, namun tetap harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dalih KHDPK adalah menata dan melindungi kawasan hutan, lalu menyejahterakan rakyat yang merupakan pengakuan pada ketidakmampuan Perhutani mengelola hutan. Tetapi lahirnya perhutanan sosial juga belum mampu mengembalikan akses kelola secara penuh kepada rakyat.

Maka tak heran program ini masih belum berjalan maksimal, seperti konflik agraria kawasan hutan yang tak kunjung selesai dan rakyat yang tak kunjung menerima rasa aman dan nyaman dalam kelola kawasan hutan. 

Secara tidak langsung, KHDPK adalah kebijakan yang mengakui kesalahan penataan akses masyarakat oleh negara.

Karena itu, kebijakan KHDPK harus dimulai dari dasar pemikirannya, yakni menghapus prasangka bahwa rakyat tak bisa mengelola hutan bahkan cenderung merusaknya. Sebab fakta di lapangan justru terjadi sebaliknya.

Ikuti perkembangan terbaru KHDPK di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain