INDONESIA terkenal sebagai negara megabiodiversitas kedua terbesar di dunia, setelah Brasil. Posisi geografis di garis tropis dan geologis tempat pertemuan lempeng, membuat Indonesia memiliki ragam bahan kehidupan dan menghasilkan banyak mineral.
Ada 17 negara yang masuk kategori megabiodiversitas. Suatu negara disebut negara dengan keanekaragaman hayati tinggi jika memiliki paling sedikit 5.000 spesies tumbuhan endemik dan ekosistem perairan. Biodiversitas adalah keseluruhan genetika, spesies, dan ekosistem yang ada di suatu kawasan.
Ada tiga tingkatan keanekaragaman hayati: pertama, keanekaragaman spesies mencakup semua spesies makhluk hidup di bumi termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak. Kedua, keanekaragaman genetika dalam satu spesies, baik di antara populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individu dalam satu populasi. Tingkatan ketiga keanekaragaman hayati adalah ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik ekosistem masing-masing.
Hampir semua barang dan makanan yang digunakan manusia berasal dari makhluk hidup, baik tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme. Karena itu penting ada perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Ancaman terbesar rusaknya mega biodiversitas Indonesia adalah deforestasi legal dan ilegal akibat konversi dan alih fungsi hutan. Tapi menyoal angka deforestasi cukup pelik dan membingungkan. Tidak saja bagi para penggiat kehutanan dan lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun tidak konsisten merilis data tentang deforestasi ini dari waktu ke waktu.
Pada 2013, Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL) KLHK mengumumkan luasan lahan sangat kritis seluruh Indonesia 24,3 juta hektare, 64% di kawasan hutan. Sementara pada 2018, dalam Rencana Strategis Ditjen PDASHL KLHK 2020-2124, lahan kritis di kawasan hutan 13,36 juta hektare, yang ada di hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare. Selama lima tahun deforestasi berkurang sekitar 2 juta hektare.
Lain pula dengan data di buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020”. Kawasan hutan tetap yang tidak berhutan atau tidak mempunyai tutupan hutan seluas 33,4 juta hektare. Luas ini terdiri dari lahan kritis di hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, dan hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 6,5 juta hektare.
Sementara laju deforestasi sejak 1990, tertinggi pada 1996-2000, yaitu 3,51 juta hektare per tahun, lalu menurun pada tahun berikutnya. Selama 2014-2015, total deforestasi di Indonesia 1,1 juta hektare, lalu 630.000 hektare tahun berikutnya, dan terus menurun lagi menjadi 496.370 hektare pada 2016-2017. Sementara laju deforestasi 450.000 hektare per tahun pada 2019, turun menjadi 115.500 hektare pada 2020, seperti klaim pemerintah pada Maret 2021.
Deforestasi yang berlangsung terus menerus akan mengancam habitat dan kelangsungan hidup flora dan fauna yang mendiami kawasan hutan, tidak terbatas dalam kawasan hutan konservasi saja tetapi juga kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Jenis-jenis fauna yang mempunyai jelajah hidup yang luas seperti harimau, gajah, orang hutan akan sangat menderita akibat deforestasi. Hewan, tentu saja, tak mengenal suatu areal kawasan hutan atau bukan kawasan hutan. Sepanjang habitat aslinya tidak dapat memberikan makanan yang cukup karena terganggu, jenis fauna akan keluar mencari habitat baru yang mampu menyediakan pangan. Konflik satwa dengan manusia pun menjadi tak terhindarkan.
Demikian pula, jenis flora endemik yang hidup dihabitat aslinya. Sebagai contoh jenis kayu hitam (Diospyros celebica) yang tergolong kayu mewah hanya bisa hidup dan tumbuh subur di hutan- hutan di Poso, Sulawesi Tengah. Pohon kayu hitam terancam punah karena penebangan yang sangat masif, sementara untuk menanam kembali dengan bantuan manusia belum dapat dilakukan karena sistem silvikulturnya belum dapat dikuasai dengan baik oleh para rimbawan Indonesia.
Regulasi tentang megabiodiversitas juga belum memadai. Aturan terkait megabiodiversitas baru terbit setelah adanya UU Nomor 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati berserta ekosistemnya. Ada juga UU 11/2013 tentang pengesahan Proktol Nagoya tentang akses pada sumber daya Genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya atas konvensi keanekaragaman hayati.
Sampai saat ini, revisi UU Nomor 5/1990 yang menyatukan dengan UU 11/2013 masih digodok di DPR. UU baru ini sangat diperlukan untuk melindungi megabiodiversitas Indonesia. Ancaman kepunahan begitu nyata, akibat deforestasi dan kini ditambah krisis iklim.
Ikuti percakapan tentang megabiodiversitas Indonesia di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :