DALAM artikel terdahulu, saya membahas soal perbedaan rehabilitasi lahan dan reboisasi. Meski kegiatannya sama tapi secara spesifik mengacu pada status lahan atau objek penanaman pohon keduanya berbeda. Kali ini soal pelaku rehabilitasi hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendak menekankan pemberdayaan masyarakat dalam rehabilitasi hutan. Artinya, penghijauan atau penanaman pohon di kawasan hutan dengan menggerakkan partisipasi masyarakat.
Aturan-aturan sudah menegaskan bahwa status lahan hutan ada dua: hak milik dan kawasan hutan. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi 2012 ada penambahan lagi, yakni hutan adat. Jika sasaran rehabilitasi hutan adalah lahan-lahan kritis, siapa penanggung jawab memulihkannya?
Peraturan Pemerintah 26/2022 telah mengatur bahwa lahan kritis di kawasan hutan yang belum memiliki izin pemanfaatan, pelaku rehabilitasinya adalah menteri dan seluruh staf di bawahnya yang mewakili unsur pemerintah. Sementara pemulihan lahan kritis di kawasan hutan yang sudah mendapat izin menjadi tanggung jawab pemegang izin.
Bagaimana lahan kritis di area lahan hak milik? Tentu saja menjadi tanggung jawab pemiliknya. Karena itu, pemberdayaan masyarakat dalam rehabilitasi lahan berada di lahan-lahan milik. Di luar hak milik menjadi tanggung jawab pemerintah.
Lalu di mana pemberdayaan masyarakat memulihkan lahan kritis di kawasan hutan?
Selama ini terdapat kerancuan tentang pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dengan perhutanan sosial. Karpet merah dibuka lebar-lebar bagi pemberdayaan, peran serta dan partisipasi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan bagi kegiatan perhutanan sosial yang memang salah satu tujuannya untuk pemulihan hutan rusak.
Masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan diberikan akses secara legal oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan melalui kegiatan perhutanan sosial. Lain halnya dengan kegiatan rehabilitasi lahan. Masyarakat terlibat di dalamnya hanya sebatas sebagai pekerja dalam kegiatan rehabilitasi hutan baik dalam kegiatan persemaian, penanaman, maupun pemeliharaan.
Masyarakat tidak mempunyai hak pengelolaan rehabilitasi hutan. Masalahnya, kesalahan mendasar kegiatan rehabilitasi hutan selama ini karena diperlakukan sebagai kegiatan yang bersifat proyek.
Dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) 23/2021 tentang pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, disebutkan bahwa berdasarkan laporan hasil pengawasan dan berita acara penilaian untuk kegiatan reboisasi pada pemeliharaan II (tanaman umur tiga tahun) dilakukan serah terima hasil penanaman.
Serah terima hasil penanaman dilaksanakan oleh perwakilan pemerintah/kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan kepada pemangku kawasan; pengelola kawasan; Dinas Provinsi; atau Dinas Kabupaten/Kota, sesuai kewenangannya.
Berdasarkan serah terima hasil penanaman pemangku kawasan, pengelola kawasan dan/atau Dinas Provinsi sesuai kewenangannya, bisa melakukan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan. Pemeliharaan lanjutan berupa pendangiran, pemupukan, dan penyulaman. Sedangkan pengamanan dilakukan terhadap ancaman kebakaran, gangguan manusia dan gangguan satwa.
Jadi jelas bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak membutuhkan peran serta dan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam menjaga dan merawat hasil tanaman rehabilitasi, karena setelah tanaman hutan umur tiga tahun telah diserah terimakan kepada pemerintah daerah setempat melalui instansi terkait yang berwenang untuk merawat dan mengamankannya.
Faktanya di lapangan selama ini, selepas tanaman hutan umur tiga tahun, pertumbuhan dan perkembangan diserahkan kepada alam. Pemerintah daerah tidak cukup punya anggaran, sumber daya manusia dan peralatan untuk memelihara dan mengamankan tanaman hasil rehabilitasi hutan.
Persoalan ini sudah berlangsung menahun dari sejak dikenalkannya kegiatan rehabilitasi lahan tahun 1999 hingga hari ini. Paradigma lama rehabilitasi hutan dan lahan seperti ini masih belum berubah.
Ikuti percakapan tentang rehabilitasi lahan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :