Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Februari 2023

Peran KPH Setelah UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja mengubah peran KPH. Baik atau buruk?

Tempat penampungan kopi petani hutan di KPH Lakitan, Sumatera Selatan (Foto: R. Eko Tjahjono/FD)

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) mempertemukan semangat desentralisasi dalam otonomi daerah dan pengelolaan hutan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999. Karena itu KPH adalah organ Dinas Kehutanan Provinsi yang menginduk ke Kementerian Dalam Negeri. Sementara pengelolaan hutan berada dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sejak itu, KPH dianggap sebagai pengelolaan hutan di tingkat tapak. Karena ada tiga jenis fungsi hutan—produksi, lindung, dan konservasi—KPH pun dibagi menjadi tiga jenis. Namun, hanya KPH hutan produksi dan KPH hutan lindung yang didelegasikan ke daerah. KPH hutan konservasi tetap di pemerintah pusat berwujud balai taman nasional.

Konstruksi Kayu

Menurut Pasal 21 UU Kehutanan, kegiatan pengelolaan hutan oleh KPH meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam.

Karena organ Dinas Kehutanan, pemerintah daerah pun mesti mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional KPH menjalan empat tugas tersebut. Pada 2014, menurut kajian Sekretariat Nasional KPH, untuk membangun satu KPH ideal butuh biaya Rp 8,2 miliar setahun. Sebuah KPH baru bisa mandiri membiayai diri sendiri setelah beroperasi lima tahun.

Karena itu KPH menjalin kerja sama bisnis dengan pemilik konsesi hutan maupun kelompok tani hutan yang menjalankan skema perhutanan sosial di areanya. Skema bagi hasil ini yang menjadi sumber pendapatan KPH dan menyetor anggaran pendapatan asli ke pemerintah daerah. Dengan skema bagi hasil ini sekaligus menjadi insentif bagi pemerintah daerah menjaga dan mengelola hutan.

Peran dan fungsi KPH tersebut berubah ketika pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja, kini Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja karena omnibus law itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam webinar Professors’ Forum “Peran KPH Setelah UU Cipta Kerja” pada 23 Februari 2023, Bramasto Nugroho, guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menyitir pasal 21 dan 123 Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 yang menjadi turunan UU Cipta Kerja.

Menurut pasal 21, organisasi KPH bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi a) perencanaan pengelolaan; b) pengorganisasian; c) pelaksanaan pengelolaan, dan; d) pengendalian dan pengawasan. Sementara pasal 123 menjelaskan tugas dan fungsi KPH yang dititikberatkan pada fungsi fasilitasi pemegang izin pemanfaatan hutan, yakni perusahaan atau KTH.

Menurut Bramasto, dua pasal PP 23/2021 itu menunjukkan KPH lebih berperan untuk memfasilitasi pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan KTH. Dengan kata lain, KPH kehilangan pendapatan dari skema bagi hasil dengan pemegang konsesi hutan. Padahal, kata Bramasto, kontribusi KPH terhadap pendapatan asli daerah mendorong pemerintah daerah tertarik mengalokasikan anggaran bagi operasional KPH. “Bisa terjadi demotivasi,” katanya. 

Studi tentang organisasi KPH oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Global Green Growth Institute (GGGI), dan IPB pada Juli-November 2022 menyimpulkan ketersediaan anggaran dan sumber daya manusia menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi efektivitas KPH. Sebanyak 72% dari 130 pengelola KPH yang menjadi responden mengatakan regulasi KPH setelah UU Cipta Kerja menghambat efektivitas tugas mereka.

Dalam studi terbaru itu, kata Bramasto, biaya yang diperlukan untuk operasional KPH Rp 6 miliar setahun. “Anggaran ini pasti tidak bisa dipenuhi APBD,” katanya. “Keadaan ini membuat KPH menjadi tidak efektif dan tidak ada kreasi.”

KPH setelah UU Cipta Kerja berperan menjadi pendamping KTH dalam mengelola area perhutanan sosial. Akibatnya, KTH menjadi andalan bisnis hulu kehutanan. Sebab, bagi industri besar, berinvestasi di kawasan hutan punya risiko besar karena harus mengelola hutan tetap lestari.

Dosen Institut Pertanian Stiper Yogyakarta Agus Setyarso menambahkan industri besar lebih tertarik investasi di sektor hilir kehutanan dengan mengolah hasil hutan petani. “Padahal investasi di hulu itu butuh modal tinggi,” kata Agus, mantan Sekretaris Seknas KPH. Walhasil, perubahan peran KPH oleh UU Cipta Kerja membuat pengelolaan hutan menjadi tidak efektif.

Pendapat dua dosen itu diamini Edi Cahyono, Kepala KPH Lakitan-Bukit Cogong, Sumatera Selatan. Menurut dia, perubahan fungsi KPH menjadi fasilitator PBPH dan KTH membuat KPH kini 4L. “Lesu, lemas, lelah, lemah,” katanya. KPH, kata Edi, menjadi tak menarik karena dianggap jadi beban pemerintah daerah.

Di sisi lain KPH akan menjadi ujung tombak program pemerintah dalam mitigasi krisis iklim, yakni mengurangi emisi gas rumah kaca melalui FOLU net sink 2030. Sektor kehutanan punya target mereduksi emisi karbon sebanyak 17,4% dari 2,8 miliar ton CO2. Perhitungan IPB untuk menurunkan emisi sebanyak itu butuh biaya Rp 204 triliun.

Diskusi tentang masa depan KPH di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain