KPH Lakitan-Bukti Cogong merupakan salah satu dari 14 KPH yang ada di Sumatera Selatan. Posisinya berbatasan dengan Provinsi Bengkulu. Awalnya KPH Lakitan merupakan KPH Kabupaten Rawas. Ini termasuk KPH yang awal di Sumatera Selatan, yakni tahun 2010. Secara efektif kami mengelola KPH sejak Maret 2013.
Secara aturan, KPH berkembang setelah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61/2010. Terjadi peningkatan kelembagaan yang berimplikasi pada anggaran. Ketika KPH masih berupa UPTD di bawah Dinas kehutanan, alokasi anggaran KPH Lakitan Rp 100-150 juta per tahun. Berkat Peraturan itu ada peningkatan menjadi delapan kali lipat. Ketika awal menjadi SKPD langsung mendapat Rp 700 juta. Dengan anggaran ini, KPH Lakitan bisa bekerja secara optimal.
Baru bernapas dengan kelembagaan, terbit Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang pemerintahan daerah. Untuk meresponsnnya Gubernur Sumatera Selatan menerbitkan Peraturan Nomor 41/2017 yang menyatukan 27 unit KPH menjadi 14. Faktanya, kami baru bisa menata kelembagaan secara optimal pada 2018.
Ketika awal KPH dibentuk, indikatornya sederhana. Ada kelembagaan (UPTD/SKPD), sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP). Saya terkejut juga KPH mendapat sumber daya manusia yang cukup karena awalnya KPH seperti anak tiri Dinas Kehutanan karena stafnya cuma ada lima orang.
Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu menetapkan KPH model dengan jargon KPH Mandiri. Dampaknya adalah operasionalisasi KPH mendapat bantuan tenaga teknis dan didukung dengan fasilitas. Ini tentu sangat mendukung kegiatan KPH khususnya yang sudah ditetapkan sebagai KPH Model, seperti KPH Lakitan.
Di Sumatera Selatan awalnya hanya dua kabupaten yang aktif membangun KPH, yaitu Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Dengan fasilitasi KLHK, daerah terdorong membangun KPH. Skemanya Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ada kewenangan usaha seraya tidak meninggalkan masyarakat melalui perhutanan sosial.
Pada 2020, istilah KPH Mandiri berubah menjadi KPH Maju, tentu dengan kriteria dan indikator baru. KPH yang digolongkan maju jika terpenuhi syarat beroperasi tadi, sudah mandiri, sudah punya usaha produktif dan menerapkan replika BLUD. Kami sudah menyusun persyaratan menuju BLUD.
Setelah itu ada istilah baru “KPH efektif”. Begitu cepat perubahan kebijakan tentang KPH. KPH Lakitan kembali masuk dalam kategori ini. Implikasinya anggaran dari daerah dan pusat ditambah.
Apa yang berubah dari UU Cipta Kerja yang kini menjadi Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja? Tidak ada lagi alokasi anggaran dari Unit Pelaksana Teknis KLHK di daerah untuk menyediakan anggaran bagi KPH. Mereka cukup mendukung. Di Lakitan beruntung ada support Forest Invesment Program 2 dari Bank Dunia dan Badan Pembangunan Denmark selama lima tahun dari 2017.
Sebelum UU Cipta Kerja, kami coba dengan alokasi anggaran yang ada. Kami memunculkan produk-produk yang menjadi andalan di masyarakat. Kopi, minyak atsiri, madu dan lainnya sesuai dengan potensi di wilayah kami. Karena itu KPH didorong berkontribusi pada anggaran daerah melalui PNBP.
Karena itu dengan kebijakan tersebut arah pembangunan KPH sudah on the track. Kami banyak belajar dari KPH lain di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, yang sudah lebih dulu maju. Kami mulai dengan kebijakan membuat Peraturan Daerah Nomor 6/2020 tentang pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung Sumatera Selatan. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 yang menjadi turunan UU Cipta Kerja bertentangan sehingga Perda itu dicabut. Skema BLUD tidak sesuai lagi.
Secara kelembagaan, KPH juga menyatukan rimbawan seluruh Indonesia. Baru kali ini saya lihat rimbawan bersatu memikirkan pengelolaan hutan melalui wadah KPH. Kami mendiskusikan problem di wilayah masing-masing dan saling belajar. UU Cipta Kerja membuat demotivasi. Kelembagaan KPH menjadi seragam, yakni di bawah Dinas Kehutanan. Padahal sebelumnya beragam. Ada di bawah provinsi, kabupaten, SKPD. KPH benar-benar bisa membangun hutan secara terdesentralisasi.
Ada banyak cerita bagaimana KPH sukses membangun ekowisata, hasil hutan bukan kayu, perhutanan sosial, dan menyumbang pendapatan asli daerah. Di Gorontalo bahkan sudah bisa mengekspor gula semut dan produk lainnya.
Artikel lain:
Kehadiran PP 23/2021 UU Cipta Kerja membuat KPH hanya menjadi fasilitator, tidak punya kewenangan pengelolaan swakelola kawasan hutannya. UPTD KPH bukan lagi entitas yang bisa memanfaatkan langsung sumber daya hutan. KPH harus bisa bernegosiasi untuk bisa membentuk atau memanfaatkan badan usaha milik daerah (BUMD) yang ada.
Tenaga rimbawan yang membantu operasional KPH juga ditarik. Akibatnya daerah yang tidak sanggup membiayai rimbawan profesional itu membuat mereka kehilangan tenaga pendukung. Sarana dan prasarana juga menurun. Dulu KPH Model mendapatkan bantuan. Sekarang tidak ada lagi.
Maka demotivasi KPH akibat UU Cipta Kerja itu membuat KPH 4L: lemah, letih, lesu, lunglai. Lesu karena perubahan fungsi KPH, lemas akibat penganggaran yang relatif sedikit sementara tuntutan kian berat. KPH barangkali sudah tidak menjadi isu yang seksi bahkan bisa dikatakan KPH sudah menjadi cerita masa lalu. KPH tak lagi punya posisi tawar ke pemerintah daerah dengan menyumbang PAD.
Walhasil, dengan perubahan-perubahan kebijakan dan kelembagaan KPH, pertanyaan besarnya, bagaimana kelestarian hutan ke depan?
Disarikan dari presentasi Professors' Forum "Peran KPH Setelah UU Cipta Kerja" pada 23 Februari 2023
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Kepala KPH Wilayah XIII Lakitan-Bukit Cogong, Sumatera Selatan
Topik :