SUDAH lama kesetaraan gender dalam perhutanan sosial, atau dalam pengelolaan hutan secara umum, menjadi objek studi yang serius. Studi-studi itu menyebutkan keterlibatan perempuan atau pembagian ruang kerja dan keputusan yang sama antara laki-laki dan perempuan mendorong pengelolaan hutan lebih lestari.
The Indonesian Institute (TII), lembaga penelitian kebijakan publik, melihat partisipasi perempuan belum maksimal dalam perhutanan sosial. Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif TII, mengatakan jumlah perempuan dan laki-laki tidak seimbang di dalam kelompok tani hutan (KTH) akibat prosedur kepesertaan program perhutanan berbasis kepala keluarga (KK).
Meski tidak bias gender, kata Adinda, syarat itu membuat ketimpangan gender karena faktanya mayoritas kepala keluarga adalah laki-laki. “Sehingga keanggotaan perempuan terbatas, masih banyak laki-laki,” kata dia.
Apalagi, jika melihat kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan di KTH. Jumlah perempuan yang sedikit dalam kelompok membuat keputusan-keputusan KTH didominasi oleh suara laki-laki. Akibatnya, partisipasi bermakna perempuan dalam KTH menjadi berkurang. “Ada “gender pay gap” yang menjadi problem partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan,” kata Adinda.
Adinda meneliti KTH perhutanan sosial di Garut, Jawa Barat. Dua dari tiga KTH yang ditelitinya menunjukkan peran laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. KTH memang memiliki ketua perempuan. Tapi, kata Adinda, mereka bukan inisiator yang membuat keputusan signifikan. “Ada banyak dominasi pengurus dan anggota laki-laki dibanding,” katanya.
Ada KTH dengan peran perempuan yang menonjol, yakni KTH Kamojang Hejo. KTH ini , sengaja dibentuk dan diinspirasi oleh aktivis perempuan. Pemimpinnya perempuan, anggota pengurusnya juga perempuan. Mereka aktif bertanya ke pemerintah soal pupuk atau harga kopi yang menguntungkan. “Rata-rata suami mereka bekerja di luar Garut,” kata Adinda.
Menurut Adinda dominasi laki-laki dipicu oleh stigma pekerjaan terkait kehutanan itu dianggap berat untuk perempuan. Karena itu perlu kebijakan afirmasi meningkatkan partisipasi perempuan yang lebih baik di perhutanan sosial. Soalnya, keanggotaan perempuan dari seluruh KTH Hanya 22% dan pendamping perhutanan sosial perempuan 31-32%.
Adinda mengusulkan agar pemerintah membentuk lebih banyak KTH khusus perempuan. Sebab, meski pun ada banyak aturan dan kebijakan pengarusutamaan gender, implementasinya lambat. Soalnya, ketika ada kelembagaan yang dibentuk oleh laki-laki, perempuan kurang mendapatkan peran di dalamnya.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan Walhi, juga memberi catatan soal peran perempuan dalam perhutanan sosial. Menurut dia, perlu ada kebijakan yang menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam pengelolaan perhutanan sosial. “Kebijakan perlu rekognisi hak perempuan dalam pengelolaan hutan,” katanya.
Ikuti perkembangan terbaru perhutanan sosial di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :