Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 Maret 2023

Paradigma Baru Memanfaatkan Hutan

Ada paradigma baru memanfaatkan hutan: sustainable landscape management. Apa itu?

Sustainable Landscape Management. Perdagangan karbon sebagai bagian dari multiusaha kehutanan

DI Hari Bakti Rimbawan ke-40 pada 16 Maret 2023, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan bahwa kini kementeriannya sedang mengimplementasikan paradigma baru memanfaatkan hutan, yakni sustainable landscape management atau manajemen lanskap berkelanjutan. “Ini perubahan mendasar,” katanya. Apa itu?

Apa paradigma lama pengelolaan hutan? Kayu. Dulu hutan hanya dianggap kayu sehingga pemanfataannya adalah menebang kayu. Dalam sustaninable landscape managemet, kata Menteri Siti, hutan dipandang sebagai kesatuan bentang alam yang dikelola secara berkelanjutan.

Konstruksi Kayu

Sebenarnya itu konsep lama. Para rimbawan sudah sering mendengarnya. Yang baru adalah sustainable landscape management digaungkan dan diatur melalui regulasi, serta dibicarakan di ruang publik oleh Menteri Kehutanan. Regulasi yang memayunginya adalah Undang-Undang Cipta Kerja—yang hidup lagi meski dibatalkan Mahkamah Konstitusi—melalui skema multiusaha kehutanan.

Masalahnya, multiusaha nonkayu belum memberikan nilai ekonomi bagi investor. Pembatasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi meliputi pembatasan luasan dan pembatasan jumlah perizinan berusaha juga membatasi ruang gerak koporasi dan pihak-pihak yang mengajukan perizinan baru untuk menghitung analisis usaha kehutanan pada tingkat yang paling menguntungkan. 


Liputan khusus multiusaha kehutanan:


Hal lainnya yang menghambat multiusaha kehutanan adalah resesi global saat ini. Banyak industri, seperti pabrik kayu lapis, kayu gergajian dan industri perkayuan kolaps atau hanya “hidup segan mati tak mau”. Di tengah kondisi begitu, multiusaha justru akan membebani keuangan perusahaan yang tidak sehat.

Dari aspek agroklimat, lahan konsesi rata-rata lahan miskin hara dan keasaman tinggi (tanah bergambut). Kalau, dipaksakan, misalnya untuk budidaya tanaman pangan, perlu perlakuan khusus (pengapuran agar tanah menjadi basa dan pemupukan dosis tinggi) yang membutuhkan biaya besar.

Dari sisi penyediaan tenaga kerja, multiusaha kehutanan juga padat modal dan padat karya. Hasilnya tidak akan sama dengan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Belum tentu juga sumber daya manusia yang dibutuhkan tersedia dilokasi terdekat.

Dari laporan kinerja Direktorat Jenderal Pengelolan Hutan Lestari KLHK, pengaju PBPH selama 2022 hanya 18 unit perusahaan. Itu pun yang baru hanya 10 unit. Selebihnya PBPH perpanjangan. Bandingkan dengan jumlah izin usaha pemanfaatan hutan 2020. Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020”, dari luas hutan produksi 68,80 juta hektare yang telah dibebani hak/izin seluas 34,18 juta hektare. Izin usaha HPH seluas 18,75 juta hektare dengan 257 unit korporasi, HTI 11,19 juta hektare dengan 292 unit dan restorasi ekosistem seluas 0,62 juta hektare.

Tahun lalu 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tak habis pikir Indonesia yang memiliki hutan sangat luas, sumbangan keuangan negaranya sangat kecil. Sektor kehutanan secara keseluruhan, hanya memberikan setoran dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 5,6 triliun. Padahal, PNBP Indonesia sekarang sudah mencapai hampir Rp 350 triliun.

Sebenarnya jika hutan produksi yang belum dibebani hak dimanfaatkan, mungkin ada tambahan PNBP. Catatannya, dimanfaatkan secara optimal, tidak ada korupsi, dan pelanggaran. Sebab, nilai ekonomi hutan tak akan sebanding dengan nilai kerusakannya jika terdegradasi.

Pajak dan juga perdagangan karbon hutan sebenarnya mampu mendongkrak pendapatan negara dari sektor kehutanan. Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak bisa mencapai Rp 26-53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak karbon US$ 5-10 per ton CO2. 

Berdasarkan hitung-hitungan Bahana Sekuritas pajak karbon sektor kehutanan menambah kontribusi kepada negara sebesar Rp 14-26 triliun per tahun. Pemerintah menunda penerapan pajak karbon hingga 2025 karena kondisi ekonomi global.

Menurut Menteri Koordinator Investasi dan Kemaritiman, nilai perdagangan karbon hutan Indonesia sekitar US$ 82-100 miliar. Jika benar, multiusaha dalam konsep sustainable landscape management bisa menjanjikan dan menggairahkan kembali bisnis kehutanan. Kali ini tanpa menebangnya.

Ikuti perkembangan terbaru soal sustainable landscape management di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain