SEKITAR setengah lahan gambut tropis dunia, atau lebih dari 13 juta hektare, berada di Indonesia. Sayangnya, lebih dari separuhnya telah rusak, sehingga perlu upaya serius merehabilitasinya. Salah satu bagian dari upaya rehabilitasi hutan dan lahan tersebut adalah berbasis agroforestri yang juga merupakan salah satu andalan untuk menyukseskan program perhutanan sosial.
Keberhasilan pembangunan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare ini bisa menjadi salah satu poros mencapai FOLU Net Sink 2030. Agroforestri adalah pola pemanfaatan lahan yang mengombinasikan penanaman pohon dengan jenis non-pohon terutama jenis tanaman pertanian, dapat juga dikombinasikan untuk tujuan lainnya seperti peternakan, perlebahan dan perikanan dalam satu unit lahan.
Dampak agroforestri bisa meningkatkan kesuburan tanah dan mengonservasi air, termasuk menjaga biodiversitas. Praktik budidaya agroforestri pun membuka lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Sebagai contoh, salah satu perusahaan BUMN, Perum Perhutani, pada 2021 melaporkan program agroforestri seluas 207.177 hektare melibatkan 501.107 petani dan menghasilkan total nilai ekonomi untuk masyarakat Rp 711 miliar.
Bahkan dalam kaitannya dengan upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim, agroforestri merupakan salah satu praktik budi daya yang termasuk ke dalam kategori “climate-smart agriculture” karena terbukti andal dalam meningkatkan produktivitas lahan, membangun ketahanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim serta adanya pepohonan efektif mengurangi emisi gas rumah kaca karena pohon berperan sebagai penyerapan karbon.
Ciri utama agroforestri adalah adanya jenis pohon. Karenanya, pemilihan jenis pohon merupakan hal terpenting dalam agroforestri. Edmann (2005) menyatakan salah satu kunci agroforestri adalah adanya jenis pohon yang sengaja ditanam oleh petani.
Untuk memperoleh jenis pohon ini bisa memakai pendekatan kearifan lokal, baik secara ekologi, sosial dan ekonomi. Kunci lainnya adalah jenis pohon multimanfaat, tidak hanya produknya, juga perannya sebagai penyerap karbon, penyuplai hara, reservoir air, pencegah erosi, pencegah kebakaran dan lain-lain.
Dengan pendekatan kearifan lokal dan multimanfaat, geronggang (Cratoxylum arboresecens) bisa menjadi salah satu jenis pohon lokal untuk rehabilitasi lahan melalui skema agroforestri lahan gambut yang terdegradasi. Geronggang mempunyai karakteristik dan manfaat yang relatif telah dikenal masyarakat lokal yang hidup di lahan gambut, seperti di beberapa wilayah di Riau.
Kayunya bisa untuk bahan bangunan, kayu akustik, kayu kecil untuk cerocok, seratnya untuk pulp, kulitnya untuk bahan obat-obatan, bunganya untuk sumber nektar (pakan lebah madu) dan buah/benihnya bisa dijual sebagai bahan perbanyakan (bibit). Bahkan di Malaysia kulit kayu geronggang bisa diolah untuk menghasilkan minyak geronggang dan telah dijual secara komersil sebagai obat penyakit kulit.
Untuk kategori jenis pepohonan, geronggang pun dikategorikan sebagai jenis pohon yang relatif tidak mudah terbakar (Toriyama et al., 2014), sehingga cocok dalam pencegahan kebakaran. Jumlah hara yang dikembalikan dari serasah tegakan muda geronggang ternyata lebih tinggi dibandingkan jenis pohon lokal lainnya (Junaedi, 2020).
Sistem perakarannya masif sehingga punya peran positif dalam menyimpan air dan menjaga kelembaban gambut sehingga cocok untuk ekosistem gambut yang harus selalu basah. Dalam hal serapan emisi karbon, Junaedi dkk (2019) melaporkan bahwa dari tiga jenis pohon lokal gambut yang ditelitinya, produktivitas karbon pada serasah geronggang paling tinggi.
Secara praktik, agroforestri berbasis pohon geronggang belum banyak. Agroforestri geronggang baru ada di Pulau Bengkalis, Riau. Tapi agroforestrinya masih terbatas antara geronggang dengan sagu dan masih dalam luasan yang relatif terbatas, meskipun ada usaha memadukan geronggang dengan jenis tanaman lain seperti cabai, nanas, pepaya.
Untuk mendorong agroforestri geronggang di lahan gambut, perlu penelitian untuk memperbaiki produktivitas lahan gambut terdegradasi. Agroforestri geronggang bermanfaat secara lingkungan sebagai pengendali iklim, memberikan manfaat ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat.
Ikuti percakapn tentang rehabilitasi lahan gambut di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti ahli madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Tim Peneliti Silvikultur Jenis Pohon Lokal untuk Lahan Marginal
Topik :