SECARA umum, upaya mengelola hutan bertujuan mencapai fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan sekaligus. Jika ketiganya tercapai, secara teori, pengelolaan hutan disebut berkelanjutan. Untuk mencapainya, pengelolaan hutan dengan tujuan ini harus bisa dikendalikan dari waktu-ke-waktu. Karena itu perlu manajemen. Dari sumber daya manusia, pembiayaan, teknologi, relasi sosial, hingga manajemen hasil. Inilah yang coba dicapai oleh Perhutani.
Sebagai Badan Usaha Milik Negara, Perhutani memiliki misi antara lain memanfaatkan dan melindungi hutan di Jawa untuk memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat. Mencapai tujuan mulai dan ideal ini tidak mudah. Sebagai organisasi yang berdiri sejak masa kolonial, Perhutani didera banyak masalah. Artikel ini akan coba membahasnya untuk melihat pembelajaran, terutama membenahi kelembagaan Perhutani.
Untuk mengubah dan memperbaiki kinerja organisasi kehutanan kita harus melihatnya ke soal-soal lain di luar soal teknis seperti menanam, mengolah, mengawasi, menata peran masyarakat, hingga menjual hasilnya. Ada banyak faktor di luar soal teknis seperti tata kelola dan manajemen, hubungan sosial hingga kepemimpinan, bahkan dampak sosial politik. Apalagi menata Perhutani dengan lingkungan politik seperti di Indonesia.
Akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi akan berjalan baik apabila ditopang dengan komunikasi yang baik. Di atas semua itu, komunikasi ditentukan oleh penguasaan metodologi dan cara berpikir. Informasi yang relevan akan masuk melalui komunikasi yang baik sehingga relevan ditelaah untuk jadi bahan mengambil keputusan.
Aspek manajemen dan tata kelola itu umumnya diselenggarakan melalui fungsi organisasi. Dalam organisasi ada kewenangan dan hierarki. Tapi, tinjauan teori ini sudah berjalan di lapangan. Orang sering kali lebih menentukan dibanding kewenangan strukturalnya. Karena itu cara komunikasi menentukan efektivitas hierarki tersebut.
Dalam menyelesaikan suatu masalah, komunikasi yang saling memberikan perspektif baru dalam berpikir dan bertindak menjadi krusial. Misalnya, pandangan bahwa bekerja bukan sekadar menjalankan prosedur, tetapi memberi peluang menjalankan inovasi terhadap prosedur. Dengan cara pandang begini, manajemen akan membuat prosedur bersifat terbuka, yang bisa disesuaikan dengan kenyataan di lapangan.
Apalagi, manajemen kehutanan hampir selalu berhubungan dengan pengelolaan sosial dan lingkungan yang mempunyai kaitan erat dengan kondisi sosial dan biofisik setempat yang beragam. Untuk itu fleksibilitas tak hanya mencakup pedoman dan praktik, juga dalam hal pengawasan. Memilih perspektif dan cara berpikir juga sebaiknya berdasarkan observasi lapangan, bukan sebaliknya.
Pendekatan seperti itu bisa menghasilkan beberapa manfaat dan inovasi. Pertama, meningkatkan kreativitas organisasi karena pengambilan keputusan berdasarkan kondisi nyata di lapangan. Kedua, menaikkan efektivitas fungsi dan jenis pekerjaan yang bertolak dari jenis pekerjaan menentukan administrasi, bukan sebaliknya. Misalnya, kondisi lapangan menentukan biaya, bukan standar biaya yang menentukan pekerjaan, kecuali bersifat perkiraan dalam perencanaan anggaran. Ketiga, pengawasan berdasarkan kenyataan, bukan berbasis laporan administrasi. Keempat, mencegah mal-administrasi hanya agar sesuai pedoman kerja.
Selama ini Perhutani dipandang sebagai organisasi yang tetap (given). Padahal organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan. Sehingga mestinya menyesuaikan dengan situasi yang terus berubah. Ketika kondisi biofisik dan sosial dalam suatu Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) berubah dan berbeda daripada KPH lainnya, struktur dan fungsi organisasi KPH juga mestinya menyesuaikan.
Perhutani juga menghadapi perubahan signifikan, termasuk kebijakan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Perubahan biofisik dan sosial di Jawa terus berkembang, seperti kebutuhan lahan konservasi versus produksi, lahan untuk hutan versus lahan untuk pertanian, naiknya jumlah penduduk miskin. Perhutani perlu memiliki strategi komunikasi dalam hubungan sosial untuk mengantisipasi perubahan-perubahan itu.
Sebagai korporasi yang dituntut efisien dan akuntabel, Perhutani perlu mempunyai semacam standar sebagai tolok ukur (benchmark) yang sesuai kondisi di Indonesia, seperti yang dimiliki PT Kereta Api Indonesia. BUMN ini selalu melakukan sertifikasi kecakapan tenaga kerjanya. Hingga Januari 2023 sekitar 10.420 pegawai KAI telah menempuh sertifikasi, sebagai pengakuan terhadap pegawai yang mempunyai pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan standar kompetensi.
Berbeda dengan jasa transportasi, perusahaan kehutanan menghasilkan jenis barang dan jasa yang beragam, selain lokasinya menyebar sehingga menimbulkan biaya tinggi yang mendorong karyawan tidak patuh aturan dan hierarki, bahkan tak peduli dengan prestasi. Meski pengendalian di dua BUMN ini serupa, tapi menjalankannya tak bisa sama dalam memakai prinsip “stick and carrot”.
Pendekatan “hukuman dan penghargaan” dalam manajemen sekurangnya memiliki tiga kelemahan, yaitu bisa menghancurkan kreativitas karena tergantung pada insentif dan hukuman, menghalangi sistem berpikir secara luas, kreatif, dan tidak fokus pada pencapaian keberhasilan dan perbaikan, serta mendorong adiksi insentif. Maka manajemen Perhutani tetap perlu melihat bahayanya jika hendak menerapkan pola ini.
Seperti umumnya perusahaan kehutanan, terutama yang melibatkan masyarakat dan sumber daya hutan dengan karakteristik berbeda-beda, manajemennya perlu memiliki kelincahan dalam membangun hubungan dengan hierarki kecil yang berbeda-beda. Perhutani perlu mengenali karakteristik KPH di lokasi yang berbeda lalu membangun struktur dan fungsi organisasi yang sesuai. Penyesuaian struktur dan fungsi organisasi sesuai karakteristik hutan yang dikelolanya bisa menjadi penentu perbaikan kinerja para karyawannya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :