Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 April 2023

IAD Perhutanan Sosial Mendorong Ekonomi Wilayah

Integrated area development (IAD) perhutanan sosial telah mendorong meningkatkan ekonomi wilayah.  

Petani hutan sosial di Lumajang, Jawa Tengah, membawa rumput untuk pakan ternak dari hutan mereka. Teknik agroforestri yang silvopastura, menggabungkan pengelolaan hutan dan peternakan (Foto: Dok. PSKL)

PERHUTANAN sosial menjadi salah satu andalan dalam pengelolaan hutan lestari. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mempercepat realisasi perhutanan sosial dalam mencapai target seluas 12,7 juta hektare melalui konsep integtared area development (IAD) atau pengembangan wilayah terpadu.

Dalam webinar Integrated Area Development: Konsep Baru Perhutanan Sosial pada 13 April 2023, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto menjelaskan bahwa IAD merupakan pendekatan pengembangan perhutanan sosial yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 yang telah dijabarkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9/2021.

Menurut Bambang, IAD akan mendorong pembangunan perdesaan yang menjadi basis perhutanan sosial sehingga terjadi “ruralisasi”, yakni penciptaan lapangan kerja di desa. “Karena itu motor IAD adalah pemerintah daerah,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Forest Investment Program (FIP)-1 yang diikuti 204 peserta di Zoom dan 341 orang di YouTube.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto saat memaparkan konsep dan praktik IAD perhutanan sosial

Ada lima model pendekatan IAD, yakni secara sosial, ekonomi, ekologi, perpaduan sosial ekonomi, maupun ekonomi-ekologi. Dengan kolaborasi Pentahelix, yakni integrasi kerja pemerintah, LSM, perguruan tinggi, swasta dan masyarakat, kata Bambang, IAD tak hanya memberikan keadilan akses melalui perhutanan sosial, juga meredakan konflik, mengurangi kemiskinan, yang terpenting adalah mengembangkan ekonomi wilayah. “Yang sedang berjalan sekarang setidaknya ada 25 model IAD untuk pembangunan wilayah,” kata Bambang.

Bambang mencontohkan IAD yang memakai pendekatan ekonomi ada di Lumajang, Jawa Timur, dan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Di OKI, pemerintah memberikan skema perhutanan sosial seluas 6.969 hektare hutan produksi kepada sekitar 2.400 kepala keluarga. Penduduk mengembangkan tanaman karet di hutan produksi. (Baca: Konflik Padam Setelah Izin Datang)

Ketika memakai mekanisme pasar biasa, penduduk mengonversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan lahan pertanian ketika harga karet turun dari Rp 9.000 menjadi Rp 4.000 per kilogram. KLHK lalu meminta PT Hevia Indonesia menjadi off taker atau pembeli karet dengan terlebih dahulu memberikan pelatihan agar masyarakat memanen karet sesuai kualitas perusahaan.

Dengan memakai dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pelatihan membuat penduduk terampil memanen karet dan mengolahnya menjadi lateks. “Setelah diolah menjadi lateks, harganya meningkat menjadi Rp 29 ribu per liter,” kata Bambang. Dengan peningkatan harga ini, penduduk berhenti mengonversi hutan menjadi perkebunan atau pertanian.

Ide mendatangkan off taker meniru perhutanan sosial di Musi Banyuasin, kabupaten sebelah OKI. PT Hevia berhasil mengembangkan industri lateks yang menciptakan lapangan pekerjaan bagi 1.500 orang. Dampaknya tak hanya kepada perhutanan sosial yang berkembang, juga mendorong industri makanan dan permukiman. “Dengan begitu, IAD di Banyuasin maupun OKI mencapai tujuannya, yakni pengembangan ekonomi wilayah,” kata Bambang. 

Sementara contoh IAD berbasis ekologi ada di Buleleng, Bali. Di sini, penduduk Desa Wanagiri melakukan konservasi air untuk kebutuhan religi. Mereka menjaga hutan agar terus menyuplai air untuk kebutuhan dasar penduduk desa yang berkembang menjadi ekowisata.

Untuk menjaga tutupan hutan, penduduk mengembangkan agroforestri, yakni memadukan tanaman hutan dengan buah-buahan dan kopi. Dengan agroforestri mereka mendapatkan manfaat ekonomi menjaga hutan. Keberhasilan konservasi air Wanagiri mendorong delapan desa lain menirunya. Akibatnya, ada koneksi wisata sembilan desa yang dipasarkan bersama oleh para pengelola perhutanan sosial. “Kopi dipasok ke kafe-kafe desa wisata,” kata Bambang.

Walhasil, IAD dengan pendekatan ekonomi maupun ekologi akan mencapai tujuan perhutanan sosial. Menurut Bambang, setidaknya ada tiga tujuan IAD perhutanan sosial, seperti yang dicapai di OKI maupun Buleleng:

  1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perhutanan sosial menjadi program pembangunan kewilayahan,
  2. Mendorong benefit dari nilai tambah dan hasil olahan perhutanan sosial melalui integrasi program Pentahelix sehingga terwujud skala ekonomi wilayah,
  3. Tercipta manfaat ekologi di kawasan karena penduduk mendapatkan manfaat ekonomi serta sosial dengan mengembangkan perhutanan sosial.

Menurut Bambang, selama lima tahun praktik IAD di Lumajang, Buleleng, maupun OKI, tutupan hutan telah meningkat. “Dengan mendapat manfaat ekonomi, masyarakat otomatis menjaga hutan,” kata dia. “Pada akhirnya, perhutanan sosial akan menyumbang pada program ketahanan iklim melalui serapan emisi karbon.”

Ikuti percakapan tentang IAD perhutanan sosial di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain