Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 02 Mei 2023

Suara Hutan Menentukan Tingkat Keanekaragaman Hayati

Hutan yang terdegradasi membuat satwa semakin sedikit bersuara dan mengubah pola komunikasi.

Satwa semakin hening di hutan terdegradasi (Foto: unsplash.com/Jan Meeus)

SUARA bisa menjadi ukuran keanekaragaman hayati. Selama ini, ukuran keanekaragaman hayati suatu ekosistem hanya diukur oleh keragaman jenis, jumlah spesies, atau kombinasi keduanya. Suara jarang disentuh para peneliti untuk menunjukkan tingkat keanekaragaman hayati di seuatu areal.

Zuzana Burivalova dari Universitas Wisconsin, coba menelaah ukuran keanekaragaman hayati melalui suara alam. Ia pun mengunjungi Kalimantan, jantung hutan tropis Indonsia yang sudah terdegradasi. Dengan menangkap suara flora dan fauna melalui sebuah alat, Zuzana coba memformulasikan keeanekaragaman hayati di empat jenis hutan: alam murni, hutan alam yang memakai pola tebang pilih, hutan tanaman akasia, dan perkebunan kelapa sawit.

Konstruksi Kayu

Hasilnya mengkonfirmasi anggapan umum bahwa hutan alam murni menyimpan keanekaragaman sangat tinggi. Perkebunan kelapa sawit menperdengarkan suara satwa paling rendah. Temuan baru Zuzana yang dipublikasikan di Science of the Total Environment ini adalah dampak aktivitas manusia yang menggeser jam keriuhan suara satwa.

Zuzana dan tim penelitiannya merekam ratusan jam suara satwa di hutan. Mereka menyebutnya sebagai suara hutan. Setelah merekamnya, mereka menganalisisnya dengan menggunakan algoritma yang sudah dibuat tim.

Setiap kelompok satwa memiliki frekuensi suara yang berbeda dan spesifik. Contohnya mamalia. Umumnya mereka memiliki suara di frekuensi rendah, sedangkan serangga memiliki suara berfrekuensi tinggi. Pengelompokan itu membantu para peneliti melihat lebih spesifik kelompok satwa apa yang lebih hening di beberapa tipe tutupan lahan.

Setidaknya ada tiga hasil studi ini. Pertama, burung dan serangga memiliki tingkat vokalisasi tinggi saat pagi dan senja di hutan alami. Vokalisasi kedua kelompok satwa itu menurun, terutama saat senja, di hutan tebang pilih, hutan tanaman akasia, dan perkebunan kelapa sawit.

Selain aktivitas manusia yang menggeser waktu bunyi burung dan serangga, kerusakan hutan mendorong penurunan populasi burung dan serangga yang menyebabkan turunanya vokalisasi dari kedua kelompok satwa tersebut.

Kedua, dari segi keragaman, hutan alami yang tidak terganggu memiliki tingkat keragaman suara burung dan serangga yang lebih tinggi dibanding ketiga tipe tutupan lahan lainnya. Keragaman suara burung menjadi lebih monoton di hutan yang terdegradasi. Aktivitas suara serangga terdengar lebih aktif di malam hari.

Ketiga, peneliti menemukan bahwa di hutan yang tidak terganggu, suara burung dan serangga lebih sinkron dan terkoordinasi. Sedangkan di hutan yang terganggu, suara burung dan serangga terdengar tidak sinkron dan terkoordinasi dengan baik. Hal ini bisa disebabkan karena kebisingan dari aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan pola komunikasi dalam komunitas burung dan serangga.

Bagaimana dengan kelompok hewan lain seperti mamalia dan amfibi? Sayangnya tim peneliti mendapatkan kendala saat membedakan antara suara mamalia dan amfibi. Mereka menemukan adanya tumpang tindih dalam spektrum frekuensi kedua kelompok satwa tersebut. Walhasil, Zuzana dan timnya tidak memasukkan hasilnya karena ditakutkan akan menimbulkan bias.

Sebagai tahap awal, metode dalam penelitian ini menjanjikan. Sebab, metode ini bisa digunakan untuk melihat tingkat keanekaragaman hayati dan kesehatan hutan di suatu daerah secara cepat dan murah. Ini juga bisa digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dari suatu program konservasi yang dilakukan oleh NGO dan pemerintah.

Para peneliti menggunakan metode analisis suara ini untuk mengidentifikasi satwa di hutan temperate dan taiga hingga tingkat spesies. Hal ini memungkinkan peneliti untuk menelisik distribusi beragam spesies dalam skala luas dan jangka waktu lama tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.

Namun, Zuzana, mengatakan hal itu belum bisa diterapkan di hutan tropis. Sebab, hutan tropis memiliki banyak spesies satwa dan peneliti belum memiliki bank data yang memadai terkait suara dari setiap spesies yang ada di hutan tropis. Hal tersebut membuat proses identifikasi satwa melalui suara masih mustahil dilakukan di hutan tropis.

“Untuk mewujudkan penelitian tersebut di hutan tropis akan membutuhkan waktu sangat lama. Walau teknologi berkembang, kami perlu mengumpulkan data setiap spesies dan suaranya agar kita bisa membuat algoritma dengan akurasi tinggi. Aku pikir itu membutuhkan sekitar 20 tahun,” kata Zuzana seperti dikutip Mongabay.

Kedepannya juga, metode analisis suara ini tidak hanya bisa menganalisis suara satwa saja, tetapi juga dapat menganalisis suara aktivitas manusia. Sehingga, bisa didapat hubungan yang jelas antara pengaruh aktivitas manusia dengan perilaku satwa.

Sebab, menurut Program Lingkungan PBB (UNEP), setiap tahun 10 juta hektare hutan di dunia hilang akibat aktivitas manusia. Kehilangan hutan adalah kehilangan suara alam yang menjadi indikator keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati menjadi penopang planet ini dari ancaman bencana dan kehancuran akibat pemanasan global.

Ikuti percakapan tentang keanekaragaman hayati di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain