Kabar Baru| 11 Mei 2023
Perhutanan Sosial Sejalan dengan Strategi Adaptasi Krisis Iklim
KRISIS iklim terjadi karena jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer melebihi kemampuan selubung bumi itu menyerap panas dan radiasi dari bumi dan matahari. Penumpukan gas rumah kaca tersebut membuat panas tak terserap dan memantul kembali ke bumi menaikkan suhu secara perlahan-lahan.
Mengutip data World Meteorologi Organization di Swiss, Siti Badriyah Rushayati, dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, kenaikan suhu pada 2011-2020 sebesar 1,20 Celsius. “Membuat bumi memasuki suhu terpanas sepanjang sejarah,” katanya dalam webinar “Perhutanan Sosial dalam Aksi Adaptasi Perubahan Iklim” pada 11 Mei 2023.
Menurut Badriyah, cara terbaik mencegah perubahan iklim adalah menaikkan tutupan hutan sehingga emisi gas rumah kaca terserap sebelum menguap ke atmosfer. Ekosistem hutan bisa menjadi pengendali emisi gas rumah kaca yang efektif secara alamiah. “Solusi lain yang utama tentu mengurangi emisi gas rumah kaca dalam kehidupan kita sehari-hari,” katanya.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam meningkatkan tutupan hutan adalah perhutanan sosial. Ada tiga tujuan utama perhutanan sosial sebagai program prioritas nasional: meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar hutan, meredakan konflik tenurial, dan menaikkan tutupan hutan. Skemanya melalui agroforestri, perpaduan tanaman kehutanan dan pertanian, peternakan, hingga perikanan.
Catur Endah Prasetiani, Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mencontohkan salah satu skema perhutanan sosial yang berhasil di Sintang dan Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Di kedua kabupaten ini, pemerintah dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memberikan hibah untuk mendukung program perhutanan sosial melalui Forest Investment Program (FIP-1).
Menurut Endah, dari target 17.000 hektare area perhutanan selama lima tahun proyek sejak 2017, hingga 2023 telah terdistribusi hampir 30.000 hektare. Perhutanan sosial adalah pemberian akses legal kepada masyarakat sekitar hutan mengelola kawasan hutan negara selama 35 tahun seluas 2-4 hektare per kepala keluarga.
Dengan agroforestri, tutupan hutan meningkat. Pelaksana FIP-1 menghitung terjadi penyerapan emisi karbon selama masa proyek sebanyak 1,8 juta ton setara CO2. Adapun terkait strategi adaptasi krisis iklim, menurut Catur Endah, lokasi-lokasi proyek FIP-1 juga mendapatkan penghargaan proklim. “Dari 17 desa, 15 mendapatkan penghargaan proklim,” katanya.
Aksi adaptasi proklim antara lain berupa pengendalian kekeringan, banjir, dan longsor, peningkatan ketahanan pangan, dan pengendalian penyakit. Menurut Catur Endah, tingkat kerentanan iklim desa-desa lokasi proyek FIP-1 masuk kategori sedang dengan skor 3,53. Di awal proyek, pelaksana FIP-1 memilih skema pemberdayaan masyarakat melalui perhutanan sosial untuk menekan risiko kerentanan iklim ini.
Dari data Sistem informasi Indeks Kerentanan (sidik.menlhk.go.id), skor kontribusi adaptasi iklim desa lokasi proyek sebesar 94%, lebih besar dibanding aksi mitigasi sebesar 66%. “Jadi, kontribusi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di dua kabupaten ini cukup signifikan dalam aksi mitigasi dan adaptasi iklim,” kata Catur Endah.
Kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mendorong aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim adalah pembangunan fasilitas air bersih, usaha agroforestri, kebun rumah, usaha perikanan, madu kelulut, hingga distribusi panel solar.
Pelaksana FIP-1 menghitung pendapatan masyarakat berkat kegiatan-kegiatan tersebut sebesar Rp 35 juta per keluarga per tahun. Artinya, pendapatan per kapita kelompok perhutanan sosial di FIP-1 sekitar Rp 815 ribu per bulan, dua kali lipat lebih tinggi dari angka garis kemiskinan Kalimantan Barat pada 2022. “Sekarang tidak ada lagi desa yang masuk kategori terbelakang,” kata Catur Endah.
Pelaksana Tugas Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Agus Rusly menambahkan bahwa perhutanan sosial menjadi pintu masuk kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim. Krisis iklim menimbulkan ragam penyakit baru tanaman akibat kenaikan suhu bumi. Dengan perhutanan sosial, masyarakat didorong memilih varietas baru yang tahan terhadap kerentanan akibat hama dan penyakit.
Menurut Agus, aksi mitigasi dan adaptasi iklim bisa berkelanjutan jika masyarakat memiliki kelembagaan yang kuat. “Kami melihat kelompok-kelompok perhutanan sosial itu komunitas yang memiliki kelembagaan kuat karena memiliki kegiatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan,” kata dia.
Dengan berkelanjutan, kata Agus, program perhutanan sosial menjadi bagian dari kebijakan menurunkan emisi hingga 2030. Dalam dokumen nationally determined contribution (NDC), sektor kehutanan punya target menurunkan emisi sebesar 17,4% dari 2,87 miliar ton setara CO2 perkiraan produksi emisi karbon pada tahun tersebut.
Dengan tujuan meningkatkan tutupan hutan, program perhutanan sosial dengan sendirinya bisa menjadi pengendali krisis iklim. Menurut Badriyah, fakta menunjukkan vegetasi pohon paling efektif menurunkan suhu udara. “Selain menurunkan suhu, hutan hujan tropis kita perannya sangat penting karena sekaligus bisa mengurangi CO2, salah satu gas rumah kaca terbesar di atmosfer,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :