Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Mei 2023

Alternatif Menyelamatkan Industri Kayu Jambi

Industri kayu Jambi kolaps karena kekurangan bahan baku. Tujuh solusi menyelamatkannya.

Industri kayu

INDUSTRI pengolahan hasil hutan di Jambi memprihatinkan. Kinerja 28 perizinan berusaha pengolahan hasil hutan (PBPHH), hampir seluruhnya di bawah 50% dari kapasitas produksi, kecuali PT Lontar Papyrus Pulp and Paper. Bahkan beberapa izin usaha beberapa perusahaan telah dicabut pemerintah.

Problem utama industri kayu di Jambi adalah kesulitan mendapatkan bahan baku yang berkelanjutan, sumber daya yang tak mumpuni, mesin yang menua sehingga tak efisien, serta produk yang kalah bersaing dibanding kayu olahan dari Jawa.

Konstruksi Kayu

Industri pengolahan kayu di Jambi memiliki kapasitas terpasang 8,8 juta meter kubik per tahun. Dengan memperhatikan rendemen berbagai ragam produk, seluruh industri butuh 11,3 juta meter kubik per tahun. Kapasitas terbesar adalah ragam produk chip (serpih kayu), plywood, veneer, dan kayu gergajian.

Selama ini sumber produksi kayu bulat di Jambi berasal dari industri pengolahan kayu (IPK), perhutanan sosial, hak pengelolaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan pembersihan lahan (land clearing) penyiapan lahan HTI. Rata-rata produksi kayu bulat di Jambi dalam lima tahun terakhir sebesar 5,46 juta meter kubik per tahun—hanya setengah dari kebutuhan. Produksi kayu terbesar berasal dari tanaman HTI, 5,30 juta meter kubik per tahun.

Bila ditilik lebih dalam, produksi kayu bulat HTI sebesar 97% merupakan bahan baku hanya untuk satu perusahaan yang memproduksi kayu serpih (wood chip). Dengan begitu, 27 industri hanya menampung 162.000 meter kubik per tahun.

Industri yang menghasilkan selain kayu serpih menggantungkan bahan baku pada kayu yang berasal dari pemegang hak atas tanah (PHAT) dan kayu hasil dari penyiapan lahan pada perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) hutan tanaman yang seluruhnya masuk dalam kategori IPK. PHAT menyuplai bahan baku kayu alam yang berasal dari areal di luar kawasan hutan yang telah menjadi hak milik masyarakat. Kayu PHAT didominasi oleh jenis mahang, sekubung dan medang yang merupakan kayu asli Jambi yang tumbuh secara alami.

Akibatnya, suplai bahan baku PHAT tidak berkelanjutan dengan kualitas kayu yang kurang bagus serta potensi yang terbatas karena tidak ada kegiatan penanaman kembali. Umumnya masyarakat menanam kayu sebagai bagian dari kegiatan penyiapan lahan sebelum menjadi kebun sawit atau pemanfaatan lain di luar kehutanan.  

Lokasi PHAT yang semakin jauh dari lokasi industri mengakibatkan biaya pengangkutan dan harga beli bahan baku yang semakin tinggi. HTI yang memproduksi jenis kayu pertukangan di  Jambi juga tak sanggup menyuplai bahan baku. Banyak industri coba bertahan dengan mengembangkan usaha menyediakan bahan baku serpih.

Dari kunjungan ke Jambi, kami mensinyalir ada beberapa faktor tidak berkembangnya industri kehutanan di provinsi ini:

  1. Jenis kayu pertukangan membutuhkan waktu yang lebih lama sampai usia masak tebang sehingga membutuhkan biaya tinggi
  2. Produk kayu pertukangan dari PBPH hutan tanaman masih kalah bersaing jika dibandingkan dengan kayu hutan alam
  3. Jenis kayu alami Jambi yang relatif cepat pertumbuhannya belum bisa dibudidayakan.
  4. Konflik dengan masyarakat yang cukup tinggi dengan adanya klaim-klaim lahan dan permintaan kompensasi “saguh hati”. Proses penyelesaian konflik dengan masyarakat yang berkepanjangan ini membuat biaya produksi tinggi dalam membangun hutan tanaman

Sebetulnya masih ada harapan pasokan kayu dari perhutanan sosial. Pemerintah menargetkan akses legal pengelolaan hutan untuk masyarakat di Jambi melalui perhutanan sosial seluas 349.500 hektare, yang baru tercapai 217.970,24 hektare kepada 38.268 keluarga melalui penetapan 396 surat keputusan. 

Provinsi Jambi memiliki hutan tanaman rakyat terluas nomor 2 di Indonesia, yaitu 37.730 hektare setelah Kalimantan Tengah seluas 58.770 hektare. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, total hasil hutan kayu dari perhutanan sosial mencapai 78.137 meter kubik atau 15.627 meter kubik per tahun. Jenis kayu yang diproduksi masih didominasi kayu akasia dan eukaliptus. 

Meski sampai saat ini produksi kayu bulat dari perhutanan sosial masih menyuplai industri berupa kayu serpih, tapi tidak berkelanjutan karena skema kerja sama yang belum solid dengan industri. Karena itu perlu ada kerja sama usaha antara pemegang izin perhutanan sosial dengan PBPHH melalui skema kemitraan. Juga riset tentang jenis tanaman lokal untuk pertukarangan yang mudah dibudidayakan sehingga bisa dipanen dalam waktu cepat.

Problem sumber daya manusia yang kompeten juga jadi problem serius. Tenaga kerja yang murah dan siap pakai semakin langka. Tenaga teknis pengelolaan hutan lestari yang mampu menguji kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis maupun menghitung biomassa kayu semakin jarang.

Teknologi punya peranan penting meningkatkan produktivitas untuk mendongrak daya saing. PT Hijau Artha Nusa, meski terintegrasi dengan hutan tanaman, belum pernah menyuplai kayu bulat sebagai bahan baku untuk industri mereka. Sebab mesin mereka tidak mampu mengolah jenis kayu keras.

Tapi PT Herman Jaya Bersama pun yang menghasilkan veneer basah untuk menyuplai industri lokal tak mampu bertahan karena kalah daya saing dengan masuknya produk veneer dari Jawa yang lebih murah. Agaknya pemerintah perlu memberikan kemudahan izin impor mesin plywood bekas sebagai solusi mesin tua ini.

Dari pembahasan di atas, berikut ini beberapa saran untuk menyelematkan industri kayu di Jambi:

  1. Meningkatkan produktivitas kayu dari kawasan hutan dengan mendorong pertumbuhan dan penguatan hutan tanaman industri) yang unggul dengan jenis tanaman sesuai kebutuhan industri. Peningkatan produktivitas bisa dilakukan dengan pengembangan sistem silvikultur yang sesuai sehingga mampu memperpendek usia tebang tanpa mengurangi kualitas kayu bulat.
  2. Memberikan kepastian pasar bagi HTI. Salah satunya melalui pola integrasi hulu hilir dengan mendekatkan industri dengan sumber bahan bakunya. Mekanisme integrasi hulu hilir ini telah diakomodasi dengan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8 Tahun 2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi. Penerapan mekanisme ini menguntungkan bagi industri penyedia bahan baku maupun industri yang menyerap kayu bulat untuk mendapatkan bahan baku yang berkelanjutan dan berkualitas
  3. Membantu industri dalam menyelesaikan konflik lahan melalui perhutanan sosial sehingga masyarakat dapat memiliki lahan usaha.
  4. Mendorong pengembangan usaha perhutanan sosial dengan jenis komoditas kayu pertukangan terutama pada areal pengembangan dengan memberikan jaminan kepastian pasar melalui kerja sama pemenuhan bahan baku dengan industri yang berada di sekitar lokasi perhutanan sosial.
  5. Mengembangkan diversifikasi jenis produk kayu olahan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
  6. Restrukturisasi teknologi industri kayu yang terpadu dan terintegrasi sehingga dapat meningkatkan rendemen dan menekan limbah
  7. Pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap PHAT agar tetap mempertahankan areal PHAT dengan jenis kayu pertukangan.

 Setidaknya, tujuh solusi ini yang mungkin bisa ditempuh untuk menyelamatkan industri kayu di Jambi. 

Referensi

  • Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari. 2023. Infografis - Satu Data PHL. https://phl.menlhk.go.id/ diakses pada tanggal 20 Maret 2023
  • Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. 2023. Informasi Kawasan – Industri Primer. https://kehutanan.jambiprov.go.id/informasi-kawasan/ diakses pada tanggal 20 Maret 2023
  • Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan. 2023. Hasil Bedah Kinerja PBPHH di Provinisi Jambi. 16-17 Maret 2023
  • Kementerian Keuangan. 2023. Kajian Fiskal Regional Tahun 2022 Provinsi Jambi diakses pada tanggal 20 Maret 2023
  • Pusat Kebijakan Strategis. 2023. Analisa Awal Potensi Pemanfaatan Hasil Perhutanan Sosial Untuk Suplai Bahan Baku PBPHH (d/h Industri Primer Hasil Hutan) di Indonesia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pengendali ekosistem hutan ahli muda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Analis kebijakan ahli muda pada Pusat Kebijakan Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain