Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 Mei 2023

REDD+ Meningkatkan Pendapatan Masyarakat

Di Kalimantan Barat, pendapatan rumah tangga naik 10% setelah mempraktikkan REDD+.

Anggota Lembaga Pengelola Hutan Desa Tanjung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sedang memetik kopi (Foto: Bismo Agung)

DALAM pengelolaan hutan, ada yang dikenal dengan REDD+, reduction emission on deforestation and degradation, atau pengurangan emisi melalui penurunan deforestasi dan degradasi lahan. REDD+ pun menjadi bagian dari pengelolaan hutan lestari.

Di Kalimantan Barat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan coba menerapkan REDD+ dengan skema pemberdayaan masyarakat. Namanya Forest Investment Program 1 atau program investasi hutan (FIP-1). Karena itu mekanismenya melalui perhutanan sosial. Proyek lima tahun sejak 2017 yang didukung Asian Development Bank ini menargetkan bisa mendelegasikan akses mengelola kawasan hutan seluas 17.000 hektare. “Di akhir proyek tercapai hampir 30.000 hektare,” kata Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial Catur Endah Prasetiani.

Konstruksi Kayu

Konsep FIP-1 adalah meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat di 17 desa lokasi proyek yang berada di dua kabupaten, Kapuas Hulu dan Sintang. Dengan meningkatkan pendapatan masyarakat, melalui manfaat langsung atau mengembangkan komoditas hutan, tekanan terhadap hutan menurun.

Deforestasi terjadi akibat aktivitas manusia, baik yang legal maupun ilegal. Dengan perhutanan sosial, pengelolaan hutan menjadi legal dan memakai cara-cara pengelolaan hutan lestari, yakni melalui pengembangan komoditas hasil hutan bukan kayu. Aspek kelestarian mencakup tiga segi: ekonomi, sosial, dan ekologi.

Di Sintang dan Kapuas Hulu, komoditas hutan yang dikembangkan berupa multiusaha, yakni memadukan tanaman pertanian dengan kehutanan. Tanaman kehutanan dilaksanakan melalui rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan ini memberikan pendapatan secara langsung melalui penanaman.

Setelah penanaman, masyarakat didorong mengembangkan komoditas pertanian di bawah tegakan hutan, seperti kopi. FIP-1, selain menyediakan biaya pemulihan hutan melalui rehabilitasi, juga menyediakan rumah produksi kopi untuk meningkatkan nilai tambah bagi komoditas yang dikembangkan masyarakat.

Menurut Elok Ponco Mulyoutami, Project Implementation Supporting Unit FIP-1, skema perhutanan sosial yang dipilih masyarakat di lokasi proyek ini adalah hutan desa. Pengembangan komoditas hasil hutan bukan kayu telah menaikkan pendapatan 8-10%. “Potensi nilai ekonomi komoditas agroforestri per desa sebesar Rp 2,4 miliar,” kata Elok dalam webinar “Peran REDD+ Terhadap Pendapatan Masyarakat” pada 25 Mei 2023. 

Jenis komoditas yang dikembangkan pelaksana proyek di 13 desa, selain kopi, adalah petai, jengkol, karet, buah-buahan, madu, ikan, serei wangi, dan lada. Kopi yang dikelola Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tanjung di Kapuas Hulu bahkan sudah ekspor ke Turki dengan merek “Kopi Okih”. “Di beberapa desa, pendapatan dari kopi menambah penghasilan rumah tangga sebesar 20 persen,” kata Elok.

Bambang Tri Sasongko Adi, Team Leader FIP-1, menambahkan kegiatan proyek telah menurunkan angka degradasi lahan seluas 400-500 hektare dan laju deforestasi nol pada 2022 dibanding laju deforestasi yang menjadi patokan pada 2018. Penurunan deforestasi ini seiring dengan serapan emisi karbon di 17 desa sebesar 1,3 juta ton setara CO2.

Dengan mekanisme perdagangan karbon skema pembayaran berbasis hasil (RBP), pengelola perhutanan sosial proyek FIP-1 berpeluang mendapatkan insentif. Menurut Bambang, nilai serapan karbon selama masa proyek senilai Rp 5 juta per hektare dengan mengacu harga karbon US$ 7 per ton. Nilai ekonomi karbon perhutanan sosial bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi pelaku kegiatan REDD+.

Masalahnya, menurut guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Pontianak Gusti Hardiansyah, serapan karbon itu belum tercatat di Sistem Registri Nasional karena sistem pencatatan penyerapan emisi ini belum mengudara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menggodok aturan teknis sebagai penjabaran Peraturan Presiden 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon. 

Jika SRN terlah terbentuk, kata Gusti, penurunan emisi di tingkat provinsi bisa tercatat dan menjadi bukti program REDD+ sejalan dengan mitigasi perubahan iklim, yakni mencegah emisi karbon menjadi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. “Kalau tak tercatat kegiatan-kegiatannya bisa sia-sia,” katanya.

Ikuti percakapan tentang REDD+ di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain