KEBIJAKAN mengelola hutan produksi memberi opsi baru melalui multiusaha kehutanan. Selain memanfaatkan kayu, pemilik konsesi diizinkan mengelola komoditas lain, dari barang bukan kayu hingga jasa lingkungan seperti ekowisata hingga perdagangan karbon.
Perkembangan itu tidak terlepas dari tuntutan keadaan. Kebutuhan masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada hutan harus dipenuhi. Di tingkat wilayah, hutan produksi bukan hanya untuk menopang kehidupan ekonomi, juga pengendali fungsi lingkungan. Akumulasi fungsi-fungsi itu menopang kebutuhan ekonomi maupun lingkungan secara nasional. Di tingkat global, hutan menjadi bagian penting bagi upaya mitigasi krisis iklim.
Faktanya, hutan produksi bukan hanya penghasil kayu, juga penghasil pangan, obat-obatan, rekreasi, jasa penyerap karbon, maupun hasil komoditi pertanian melalui agroforestri. Masalahnya, dengan opsi multiusaha, tidak berarti secara langsung akan memudahkan upaya melestarikannya. Masih banyak sejumlah hambatan untuk melestarikan hutan, seperti konflik ruang, konflik hak atas tanah dan hutan, rendahnya akses atau infrastruktur, serta penebangan ilegal dan korupsi dalam perizinan.
Bisnis penyerapan karbon sebagai jasa yang mendapat kompensasi dari berbagai inisiatif global, tidak berarti langsung dapat mengendalikan hambatan yang ada. Pendekatan karbon menghadapi dua tantangan sekaligus: karbon sebagai “komoditas” baru yang mampu menopang usaha komersial dan kepastian usaha yang bergantung pada regulasi dengan banyak hambatan tadi.
Sepanjang harga karbon lebih besar daripada biaya menciptakan penyerapannya, bisnis ini layak secara komersial. Jika modal menjaga hutan untuk menyerap karbon itu dari bank, bunganya menjadi biaya bisnis karbon itu. Maka harga karbon mesti jauh lebih tinggi dari seluruh biaya tersebut. Sebaliknya jika harga karbon rendah karena pasokannya melimpah, bisnis ini menjadi kurang menjanjikan.
Upaya konservasi alam melalui rehabilitasi hutan terbukti tidak bisa hanya bersandar pada pendekatan teknis menanam pohon. Keberadaan hutan yang mampu memberi manfaat bagi orang banyak itu, tidak secara otomatis menarik minat orang-per-orang mendukung upaya pelestarian hutan.
Ada selalu “penunggang bebas” (free rider) dalam tiap usaha bagus. Mereka yang tidak ikut menanam pohon bisa menghirup udara segar, terbebas dari banjir, dan mendapatkan lingkungan yang asri. Dengan kata lain, kita akan mengorbankan pilihan rasional memuliakan hutan karena bisa gratis mendapatkan manfaatnya.
Kehilangan hutan alam produksi seluas lebih dari 30 juta hektare bukti bahwa penunggang gelap itu nyata adanya dalam pengelolaan hutan. Masalah fundamental ini belum terselesaikan sebagai problem besar pengelolaan hutan.
Pertanyaannya, dengan multiusaha apakah hutan akan dijaga agar lestari oleh pengelolanya?
Sejauh ini terbukti rehabilitasi atau pengayaan jenis pohon tidak mampu mewujudkan hutan, apabila hanya mengandalkan kebijakan penanaman pohon belaka. Hutan alam produksi pada akhir 2022 hanya dikelola oleh 247 unit manajemen, turun dari 567 izin pada 1991. Dengan begitu sebanyak 320 perusahaan melaksanakan pengelolaan hutan tak lestari.
Serupa dengan rehabilitasi hutan dan lahan oleh pemerintah. Biaya mewujudkan tanaman sampai berumur tiga tahun selama, secara umum belum cukup menjadi insentif bagi pengelola hutan berikutnya, misalnya, pemerintah daerah, sehingga rehabilitasi berpotensi gagal di tengah jalan dan tidak berkelanjutan.
Pengelolaan hutan secara lestari tidak hanya tergantung pada pengaturan pengelolaan hutan secara fisik, juga perlu memperhatikan status legalitas kawasan hutan maupun kondisi sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan begitu, implementasi konsep mewujudkan hutan lestari harus melampaui hal-hal teknis kehutanan.
Tantangannya bisa dan sering kali berada di luar domain teknis sektor kehutanan. Persoalan hak-hak atas tanah, batas-batas wilayah administrasi, kapasitas lembaga pemerintah daerah, pendidikan dan pengetahuan masyarakat, penegakan hukum termasuk pencegahan dan pemberantasan korupsi, menjadi isu-isu yang turut menentukan kelestarian hutan.
Maka menerapkan kebijakan multiusaha perlu mencermati kondisi hutan, bukan hanya mempelajari skema secara nasional dan internasional. Kinerja usaha kehutanan serta peran masyarakat dalam mengelola hutan harus dipelajari dengan saksama oleh pembuat kebijakan karena menentukan keberlanjutan kebijakan multiusaha kehutanan.
Ikuti percakapan tentang multiusaha kehutanan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :