SETELAH dua tahun berlalu, pemerintah akhirnya membahas Undang-Undang Cipta Kerja. Pada 25 November 2020, Mahkamah Konstitusi menyatakan omnibus law ini inkonstitusional bersyarat. Mahkamah memberikan waktu dua tahun kepada pemerintah melakukan revisi UU Cipta Kerja jika tak ingin beleid ini inkonstitusional permanen.
Pekan lalu ada pembahasan UU Cipta Kerja dari perspektif ekonomi dan hukum. Saya diminta memberi masukan. Berikut ini butir-butirnya:
Pertama, ketidakpastian proses perubahan secara terbuka. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu, masyarakat tidak tahu soal bagaimana praktik partisipasi bermakna yang diminta Mahkamah sebagai syarat pembuatan undang-undang. Menurut hakim konstitusi, UU Cipta Kerja inkonstitusional karena tak menampung partisipasi bermakna masyarakat dalam penyusunannya.
Dalam banyak penyusunan undang-udang atau peraturan, masyarakat hanya bisa membaca naskahnya setelah ditetapkan. Akibatnya, sebuah undang-undang kehilangan argumentasi otentik atau alasan substansial: mengapa pengaturan itu berubah dari apa yang sudah berjalan sebelumnya.
Lalu khalayak mendapat penjelasan, tapi hanya yang ada di permukaan saja. Akibatnya, pembicaraan melebar dan merembet menjadi hal-hal yang tidak perlu serta adanya divergensi dalam pelaksanaannya.
Kedua, divergensi pelaksanaan itulah yang jadi soal. Dalam sektor kehutanan, misalnya, divergensi terjadi dalam memosisikan peran Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
KPH adalah lembaga pemerintah daerah. Pemerintah pusat berpandangan bahwa UU Cipta Kerja tidak mengurangi peran KPH sebagai unit terkecil pengelola hutan. Pemerintah daerah sebaliknya.
Dalam evaluasi pengelolaan hutan oleh KPH sebulan lalu terungkap pengakuan pejabat Dinas Kehutanan yang tidak menjelaskan perubahan itu kepada Gubernur sebagai atasnya karena khawatir alokasi dana untuk KPH dikurangi, sebagaimana terjadi di provinsi-provinsi lain.
Dengan resentralisasi pengelolaan hutan oleh UU Cipta Kerja, dukungan daerah kelihatannya juga akan berkurang. Pengelolaan hutan secara nasional akan bergantung kembali kepada pengelola kawasan konservasi, pemegang persetujuan berusaha, dan perhutanan sosial.
Dorongan UU Cipta Kerja dalam pengelolaan hutan akan menimbulkan titik kritis kelembagaan kehutanan secara nasional, karena para pengelola tidak mencakup seluruh kawasan hutan yang ada. Apalagi kapasitas pengelolaan dan anggaran pemerintah pusat tidak dinaikkan.
Kedua hal itu tak menyangkut semata isi peraturan. Jika sebuah peraturan disusun tak memedulikan diskursus yang berkembang di masyarakat, metabolisme tubuh negara akan terganggu. Sebab, apa yang diinginkan kepala negara lewat UU Cipta Kerja, implementasinya tak akan sampai ke ujung kekuasaan sebagai pelaksana kebijakan.
Ketiga, masyarakat hukum adat telah bermukim dan mempunyai ruang hidup di dalam tanah dan hutan negara dalam waktu yang sangat lama. Dalam UU Kehutanan, pengukuhan masyarakat adat memerlukan peraturan daerah (Pasal 67) yang ditetapkan oleh DPRD. UU Cipta Kerja tak mengubah atau mencabut pasal krusial ini.
Padahal, dalam aturan-aturan lain, UU Cipta Kerja mencabut ketentuan persetujuan DPR, seperti pengesahan perubahan tata ruang sebuah wilayah. Ini jelas tidak adil: urusan investasi tanpa persetujuan politik yang lama dan mahal, sementara masyarakat adat dibiarkan bertarung dalam proses politik yang a lot.
Keempat, integrasi administrasi tanah dan kawasan hutan negara. UU Cipta Kerja memberi mandat kepada pemerintah melanjutkan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Ada pasal-pasal untuk melaksanakan prakarsa itu, baik dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah. Namun UU Cipta Kerja yang semula bertujuan untuk mewujudkan integrasi antar kebijakan dan regulasi, ujungnya jauh panggang dari api.
Penyatuan sistem pertanahan nasional antara bidang pertanahan dan kehutanan tidak terserap dalam UU Cipta Kerja. Akibatnya penatagunaan hutan dan penatagunaan tanah tidak bisa bersama-sama memperhatikan kenyataan di lapangan yang kompleks.
Pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) dari pelepasan kawasan hutan oleh pemerintah provinsi Papua Barat, misalnya, tidak bisa dijadikan alasan untuk menggugurkan HGU itu oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Demikian pula, hak masyarakat adat tertentu yang meliputi hamparan bidang tanah dan kawasan hutan sekaligus, tak jelas cara penyelesaiannya.
Kelima, solusi tumpang tindih peraturan. Dari data yang diolah Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta (2020) terlihat ada lebih dari 40% luas daratan Indonesia yang izin pemanfaatannya tumpang-tindih. Tumpang-tindih itu telah melahirkan konflik dan ketimpangan. Selain itu, proses perizinan mengelola lahan dan hutan masih dihinggapi berbagai biaya dan transaksi. Akibatnya, meski izin usaha beroperasi, aktivitasnya tidak sesuai dengan peraturan.
Sebetulnya ada peraturan pemerintah yang memang dibuat untuk membuat pasal-pasal UU Cipta Kerja lebih spesifik dan bisa bekerja secara taktis. Artinya, PP dan aturan turunan UU Cipta Kerja harus sinkron. Rupanya tujuan omnibus law soal sinkronisasi ini sudah langsung dilanggar oleh aturan-aturan turunannya sendiri.
Seperti terlihat dalam PP 43/2021 untuk menyelesaikan konflik agraria yang tidak memakai dasar tiga fungsi hutan, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Dalam PP 23/2021 fungsi hutan tersebut menjadi basis dan kriteria penting.
Keenam, potensi terjadinya trade off. UU Cipta Kerja dan aturan turunannya mendesain kebijakan mempercepat implementasi proyek strategis nasional (PSN). Dalam PP 43/2021 proyek strategis nasional dikecualikan dihentikan ketika ada ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten.
Sementara dalam PP 23/2021 pelepasan kawasan hutan hanya bisa untuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan yang tidak produktif, dikecualikan untuk proyek strategis nasional. Artinya, proyek strategis nasional bisa terus dilakukan di pelbagai fungsi kawasan hutan.
Tak hanya itu, proyek strategis nasional juga memotong luas perizinan berusaha (pasal 160) maupun wilayah persetujuan perhutanan sosial tanpa harus ada lahan kompensasi (pasal 97 pada PP 9/2021 tentang perhutanan sosial).
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2021, proyek strategis nasional disebut sebagai proyek yang bisa dijalankan tanpa memiliki peta citra resolusi tinggi (pasal 381) dan bisa dijalankan sebelum tata batasnya selesai untuk kegiatan penggunaan kawasan hutan (pasal 404). Proyek strategis juga bisa terus pada wilayah persetujuan penggunaan kawasan hutan walaupun tidak memenuhi komitmen (pasal 398).
Sebagai instrumen perubahan sosial, para ahli hukum menyebut bahwa pelaksanaan hukum memerlukan dua proses yang saling terkait: pelembagaan dan internalisasi pola perilaku kita semua. Untuk mewujudkannya perlu beberapa kondisi.
Misalnya, hukum harus berasal dari sumber yang berwibawa, bergengsi, dan harus memakai istilah yang mudah dimengerti dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Implementasi hukum juga harus diarahkan untuk melakukan perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Semakin lama hukum yang tidak efektif, semakin rendah kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Efisiensi perizinan berusaha seperti keinginan revisi UU Cipta Kerja, misalnya, tak menjangkau masalah pokoknya. UU Cipta Kerja hanya menyentuh soal tumpang tindih aturan, tak menjangkau jaringan korup perizinan yang bergerak secara “pseudo-legal” sehingga investasi mandek sementara kerusakan lingkungan terus terjadi.
Ikuti perkembangan terbaru tentang UU Cipta Kerja di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :