Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 Februari 2023

5 Hambatan Pengakuan Hutan Adat

Pengakuan hutan adat masih minim. Lima hambatan.

Masyarakat adat di sekitar Danau Toba sedang memanen getah kemenyan (Foto: Dok. FD)

POLEMIK pengakuan hutan adat sudah berlangsung sangat lama, yakni sejak 1960-an, tepatnya sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Penjelasan beleid ini menyebut pengakuan hak ulayat dari masyarakat hukum adat.

Lalu terbit UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan yang menyebut hukum adat di pasal 17. Pasal itu berbunyi:

Konstruksi Kayu

“Selain hukum perundang-undangan, di beberapa tempat di Indonesia masih berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan. Dalam pelaksanaan hukum adat setempat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus dijaga jangan sampai terjadi kerusakan hutan, sehingga mengakibatkan manfaat hutan yang lebih penting di bidang produksi dan fungsi lindung daripada hutan akan berkurang adanya. 

Demikian pula hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada tetap diakui, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Perundangan lain yang lebih tinggi. Karena itu tidak dapat dibenarkan, andaikata hak ulayat suatu masyarakat hukum adat setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum pemerintah, misalnya: menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang.”

Dalam UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan, masyarakat adat disebut dengan rinci dan jelas dalam satu bab, satu pasal (67) dan tiga ayat. Dalam pasal 5 ayat (2) UU tersebut, dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat. Mahkamah Konstitusi pada 2012 menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada diwilayah adat dan bukan negara. 

Sayangnya pasal 67 ayat (2) yang mensyaratkan peraturan daerah dalam pengakuan hutan adat tak turut dibatalkan. Sehingga masyarakat adat yang mengajukan hutan adat mesti mendapatkan pengakuan melalui peraturan daerah, yakni kesepakatan antara eksekutif dan legislatif daerah.

UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah juga menyebut masyarakat adat dalam pasal 203 ayat (3) yang berbunyi, “Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.

Regulasi tentang masyarakat hukum adat diatur lagi dengan peraturan turunannya seperti peraturan pemerintah PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 9/2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial.

Dalam refleksi akhir tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ada pemaparan menarik dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto tentang progres kegiatan perhutanan sosial selama 2022. Bambang melaporkan bahwa progres hutan adat sebagai salah satu skema dari lima skema perhutanan sosial sangat rendah dibandingkan dengan empat skema lainnya, yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan.


Artike lain hutan adat:


Pada 2022 pemerintah hanya menerbitkan 18 surat keputusan hutan adat seluas 76.780 hektare. Sehingga total hutan adat hingga tahun lalu sebanyak 107 lokasi seluas 152.917 hektare. Padahal, wilayah indikatif hutan adat di 19 provinsi kurang lebih seluas 988.393 hektare atau pencapaian target luasnya baru 15,47%.

Lain lagi yang dilaporkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Hingga Desember 2022, BRWA memetakan 1.167 peta wilayah adat dengan luas mencapai 21,3 juta hektare mencakup wilayah adat di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota.

Lima hambatan pengakuan hutan adat

Ada beberapa faktor penyebab lambatnya pengukuhan dan penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adat selama ini:

Pertama, meski hutan adat bukan negara seperti putusan MK, tidak berarti hutan adat adalah hutan hak atau hutan milik sebagaimana dimaksud pasal 5 UU 41/1999. Perpu Cipta Kerja bidang kehutanan, menegaskan bahwa hutan adat bagian dari perhutanan sosial. Artinya, hutan adat dianggap setara dengan empat skema perhutanan sosial lain yang berada di hutan negara.

Kedua, pengakuan, pengukuhan dan penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah (Perda) sangat membebani dan memberatkan. Perda adalah proses keputusan politik yang diambil oleh para elite politik yang duduk di DPRD di tingkat kabupaten/kota yang sarat dengan berbagai kepentingan. Seandainya pengakuan, pengukuhan dan penetapan hutan adat cukup sampai dengan keputusan Bupati maka Presiden akan lebih mudah untuk mendorong percepatan pengakuannya.

Ketiga, kebijakan dan regulasi pemerintah dan DPR tentang hutan adat masih bersifat parsial, sektoral dan belum afirmatif (menguatkan) antara satu dengan yang lain. Menurut Kepala BRWA Kasmita Widodo, komponen di pemerintah pusat yang dianggap paling signifikan perannya dalam mempercepat hutan adat adalah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Upaya yang perlu dilakukan Kemendagri adalah memonitor capaian pemerintah daerah terhadap implementasi penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat. Sementara KLHK perlu memperluas kerja sama dengan pemda dalam pengakuan hutan adat yang secara pararel mendukung pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Secara spesifik , pemerintah daerah juga perlu menyiapkan atau mengaktifkan kelembagaan yang memiliki tugas khusus menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat serta mengalokasikan anggarannya.

Keempat, RUU Masyarakat Hukum Adat macet di DPR. UU ini, kelak jika disahkan, sebaiknya menghapus tahap-tahap yang mempersulit pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat.

Kelima, meskipun hutan adat masuk skema pengelolaan hutan di kawasan hutan, perhutanan sosial menjadi solusi sementara pengakuan masyarakat adat dan hutan adat. Dari 12,7 juta hektare target perhutanan sosial, realisasinya 5,3 juta hektare. Artinya, masih ada 7,4 juta hektare yang belum tercapai. Tinggal niat dan kemauan politik mengakui masyarakat adat beserta hutan adatnya.

Percakapan tentang hutan adat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain